Epos, Hutan, Nestapa
TAHUN-TAHUN berlalu tapi kesan dan makna tak terlupa. Buku itu berjudul Anak Bajang Menggiring Angin. Buku diperingati telah berumur 40 tahun. Sindhunata justru agak mengelak untuk sebutan pengarang. Ia memilih sebutan carik. Kini, buku itu tak sendirian.
Penerbitan buku bermula dari cerita bersambung dimuat di Kompas mendapat sambutan pembaca. Buku terbit menempatkan Sindhunata sebagai sosok dikagumi pembaca. Babak itu mendapat “ralat” agar tak kebablasan menjadi kesombongan bersastra. Di Kompas, 26 September 2021, kita membaca: “Ketika menulis cerita bersambung itu, Sindhunata sama sekali tidak berdalih sebagai seorang pencerita, penulis wayang, ataupun sastrawan. Apa yang dilakukannya lebih-lebih karena menjalankan tugas redaksi. Ia mengistilahkan dirinya sebagai juru tulis atau carik.” Pengakuan mirip kritik atas penetapan atau pengakuan orang-orang sebagai sastrawan di Indonesia masa Orde Baru.
Peran sebagai carik berlanjut dengan cerita bersambung berjudul Anak Bajang Mengayun Bulan, dimuat di Kompas 150 edisi. Pembaca terjanjikan menikmati cerita setiap hari. Awalan cerita di Kompas, 27 September 2021, memberi kesan “kehijauan” bagi orang-orang merindukan hutan. Sindhunata bercerita: “Pagi sedang sangat indah di hutan Jatirasa. Embun-embun belum pecah. Diterpan sinar sang surya, mereka bepercikan bagaikan butir-butir mutiara yang membangunkan daun-daun dari tidurnya. Dahan-dahan berkeriutan. Seperti meminta, janganlah angin menghentikan semilir yang sedang sejuk mengelus-elusnya. Kokok ayam alas mengalun indah lalu melebur dalam kicauan burung-burung aneka warna.”
Pembaca merasa kembali membaca sastra klasik. Pada masa lalu, sastra-sastra memikat dimulai kemahiran berbahasa dalam menceritakan alam. Flora dan fauna disajikan dengan kiasan. Kalimat demi kalimat mengajak pembaca tergoda dengan pemandangan dan suasana. Sindhunata seperti sosok-sosok terjelaskan Zoetmulder dalam Kalangwan. Ia masih mewarisi kepekaan mengisahkan alam dengan bahasa lembut dan indah. Carik itu berasal dari masa lalu, memberi persembahan untuk pembaca di abad XXI.
Sindhunata seperti sosok-sosok terjelaskan Zoetmulder dalam Kalangwan. Ia masih mewarisi kepekaan mengisahkan alam dengan bahasa lembut dan indah. Carik itu berasal dari masa lalu, memberi persembahan untuk pembaca di abad XXI.
Kita sejenak mengingat pembuka Anak Bajang Menggiring Angin. Di situ, ada kealaman terceritakan tapi lekas berperasaan: “Mendung bagaikan bidadari menangis di Negeri Lokapala. Air matanya jatuh berupa batu-batu hitam menutupi kehijauan rerumputan. Kesunyiannya tanpa bintang. Kesedihannya tanpa bulan. Malamnya berhias dengan ratapan awan-awan tebal.” Malam terbaca, berbeda dari pagi terasa indah dalam Anak Bajang Mengayun Bulan.
Masa berbeda, pembuka cerita pun berbeda. Kita ingin menikmati pembuka Anak Bajang Mengayun Bulan sambil berharapan dunia pulih dari wabah. Imajinasi hutan terlalu menggoda. Pohon-pohon dan binatang-binatang mengabarkan hidup bersukacita, selaras, dan santun. Di dunia, hutan masih ada tapi berkurang dan nestapa. Hutan dalam pengisahan Sindhunata mengingatkan orang-orang lama terbiasa membaca atau menikmati epos-epos berdatangan dari India, mengalami “pengesahan” berlatar di Jawa atau Nusantara.
Pembaca ingin mengunjungi hutan dalam cerita: “Hutan Jatirasa adalah rimba raya yang luas, tempat hidup aneka binatang liar dan buas. Di sana tumbuh pohon-pohon raksasa yang lebat daun-daunnya…” Hutan terimajinasikan sambil mengingat gambar-gambar dalam film dokumenter atau Avatar untuk mengetahui nasib hutan-hutan pada abad XXI. Hutan masih tema membuat debat-debat menguak pamrih duit, politik, hiburan, kuliner, pengobatan, olahraga, ritual, keilmuan, dan lain-lain.
Kalimat-kalimat terbaca dalam buku berjudul Hutan (1979) susunan Peter Farb. Hutan diartikan “buku pelajaran yang hidup”. Kita simak: “… mengenai kehidupan tetumbuhan, suatu arak-arakan vegetasi yang dapat disaksikan pada sebentang tanah yang hanya beberapa puluh meter saja, sebab banyaklah di antara tetumbuhan dari zaman dahulu kala yang mempunyai contohnya pada flora zaman sekarang.” Kita sedang diajak menempuhi babak-babak hutan terjelaskan dalam “keilmuan”.
Penjelasan sudah “imajinatif” bagi kita cuma kebagian melihat hutan-hutan rusak dan sengsara akibat serakah-serakah. Hutan tak sama dengan penjelasan dalam pengetahuan berdasarkan fakta dan argumentasi mengenai silam. Kalimat menakjubkan pun terbaca: “Dari abad ke abad, tetumbuhan hijau berbiak menjadi sangat beraneka ragam dan memenuhi hampir tiap relung mana pun dalam planet ini.” Di hadapan kita adalah buku sains, bukan novel atau puisi.
Penjelasan itu megah. Kita membaca saja. Kita menambahi menikmati epos-epos, mengawetkan hutan dalam keagungan meski mengikutkan perang, kematian, hukuman, dan petaka. Di dunia, hutan-hutan dalam epos teringinkan menjadi pemandangan menebus kecewa-kecewa saat dunia adalah kota-kota menghilangkan hutan-hutan. Nasib apes hutan sudah berlangsung sejak ratusan tahun lalu. Kerusakan mustahil dipulihkan.
Sindhunata mengisahkan hutan dalam Anak Bajang Mengayun Bulan bukan untuk mengajukan protes atau rekomendasi agar Indonesia memuliakan hutan. Misi kecil itu terlalu sulit mendapat anggukan penguasa dan kaum modal. Hutan bukan “tempat cerita”. Hutan telanjur dimengerti dengan perhitungan-perhitungan menguntungkan pelbagai pihak. Hutan dijauhkan dari imajinasi keindahan dan keagungan. Hutan itu tema dalam kekuasaan dan bisnis global, sebelum mendapat protes-protes jarang digubris.
Nasib apes hutan sudah berlangsung sejak ratusan tahun lalu. Kerusakan mustahil dipulihkan. Sindhunata mengisahkan hutan dalam Anak Bajang Mengayun Bulan bukan untuk mengajukan protes atau rekomendasi agar Indonesia memuliakan hutan. Misi kecil itu terlalu sulit mendapat anggukan penguasa dan kaum modal.
Orang ingin mengetahui hutan tanpa cerita bisa membuka halaman-halaman buku berjudul Vademecum Kehutanan Indonesia (1976) dihasilkan oleh Departemen Pertanian. Kita membaca penjelasan-penjelasan hutan tanpa imajinasi. Bacalah dan mengertilah hutan di Indonesia itu mengagumkan! Kagum tampak di halaman-halaman berisi kata, angka, dan gambar. Hutan dan kehutanan tampak dipentingkan oleh penguasa. Di luar buku, kita sendih mendapat berita-berita kenestapaan hutan. Buku-buku mengenai nestapa hutan tentu bukan terbitan pemerintah. Pada masa 1970-an, orang-orang menggubah puisi, cerita pendek, dan novel mengisahkan hutan tak lagi mulia. Suguhan sastra itu terbaca tapi belum acuan bagi penguasa atau pemodal bersandiwara keinsafan.
Indonesia bersejarah hutan, berbeda dari cerita-cerita. Kita membuka buku berjudul Sejarah Kehutanan Indonesia II-III, Periode 1942-1983 (1986). Kita menilik catatan-catatan tak lengkap. Di halaman 89-90, terbaca: “Ekspor hasil hutan telah dilaksanakan sejak sebelum Perang Dunia II…. Melihat luas hutan Indonesia yang 120 juta ha, ekspor hasil hutan itu sebenarnya masih sangat rendah, yaitu hanya 1% dari nilai ekspor seluruhnya. Rendahnya nilai ekspor hasil hutan Indonesia disebabkan oleh belum adanya kemampuan mengekspor barang jadi atau setengah jadi.” Catatan mengacu masa 1960-an. Kita tak ingin melanjutkan mengurusi laporan atau kerja-kerja pemerintah sering “bermasalah”.
Kita ingin mengingat saja pengisahan hutan-hutan dalam gubahan sastra telah terselenggara sejak ratusan tahun lalu. Cerita-cerita itu terwariskan sampai sekarang tapi hutan-hutan tak terwariskan utuh. Sekian hutan hilang. Sekian hutan rusak. Sekian hutan masih ada tanpa janji keselamatan dan kelanggengan. Begitu.
Bandung Mawardi
pemenang 3 Sayembara Kritik Sastra DKJ 2019,
Kuncen Bilik Literasi, Penulis Buku Terbit dan Telat (2020),
Silih Berganti. Esai-esai Tenger (2020)
FB: Kabut
Comments