Diari Sekolah Basis 2.0 | Hari #4 | Stoikisme: Pendidikan sebagai Askesis
6 Januari 2023
MENGIKUTI Sekolah Basis di hari ke-4 malam ini, aku disadarkan mengenai relevansi yang membumi dari filsafat dengan kehidupan sehari-hari. Anggapan awal bahwa filsafat begitu melangit karena dimulai dari ontologi, epistemologi, dan aksiologi, sehingga memiliki rangkaian panjang untuk tiba ke manfaat praktis, terbantahkan.
Dr. A. Setyo Wibowo yang akrab dipanggil Rm. Setyo menjelaskan pandangan umum tentang filsafat yang hanya dipelajari di perguruan tinggi, mengawang-awang, tidak relevan dengan kehidupan bahkan tidak berguna. Kondisi ini wajar terjadi karena filsafat kurang dikenal masyarakat. Padahal, ada satu aliran filsafat yang bisa dimanfaatkan secara praktis. Filsafat yang dimaksud bersifat personal karena berkaitan dengan moralitas dan menjadi aliran tertua dalam sejarah filsafat.
Stoikisme, aliran filsafat untuk mengolah jiwa
Di keluarga kami, lebih dari sepuluh tahun ini memiliki tradisi mengonsumsi buah setiap pagi. Buah menjadi sarapan wajib. Bahkan, saat puasa Ramadhan kami makan sahur dengan buah. Anak-anak, sekarang usia 17 tahun dan 16 tahun, bisa mengikuti sarapan buah tersebut lima tahun terakhir. Kunci sarapan buah ini bisa diikuti dan menjadi kebiasaan adalah adanya contoh langsung dan pengondisian. Kami, selaku orang tua memberikan contoh dan selalu menyediakan buah, termasuk mengupaskan buah ketika anak-anak belum mampu mengerjakannya sendiri. Contoh yang dilakukan setiap hari, sejak anak-anak usia SD kelas 1 memberikan hasil lima tahun kemudian, saat mereka kelas 5 dan 6. Tidak ada protes dan rewel, mereka melakukan karena paham akan pentingnya buah.
Penjelasan dari sudut filsafat, aku dapatkan malam ini, melalui filsafat stoikisme. Stoikisme atau stoa adalah aliran filsafat Yunani kuno yang lahir pada awal abad ke-3 SM di kota Athena, Yunani. Zeno dari Citium sebagai pendirinya.
Penerapan stoikisme di dunia pendidikan
Pertama, perlu dipahami benar bahwa kita harus bisa membedakan antara "apa yang tergantung dan tidak tergantung" pada diri sendiri. Yang tergantung pada diri sendiri adalah jiwa. Dalam jiwa, kita akan mengendalikan yang berhubungan dengan hasrat dan keinginan. Yang di luar jiwa merupakan faktor yang tidak bisa dikendalikan.
Penerapan untuk anak didik di sekolah, termasuk anak di keluarga, dilakukan dengan pembiasaan yang terus-menerus sejak usia dini. Pada tahap usia dini, anak-anak dibimbing, termasuk diberi contoh mengenai baik dan buruk, yang diperbolehkan dan yang dilarang. Melewati usia dini, pada usia remaja dan dewasa, ketika kemampuan nalar berkembang, mereka diajarkan untuk mengolah diri. Membentuk jiwa yang sadar dan merdeka. Tujuan yang dicapai dalam proses pendidikan bertahap, dengan metode yang berbeda pada tiap tahap, dan bahkan metode khusus untuk tiap individu dengan keunikannya adalah membentuk kemampuan mengontrol diri. Contoh praktisnya adalah anak-anak mampu memahami dan berpikir bahwa mengonsumsi makanan sebenarnya menyuplai nutrisi untuk tubuh, dan bukan untuk memuaskan kesenangan. Memahami dan berpikir adalah proses mengambil jarak pada sesuatu dan memberikan hasil rasional sesuai dengan kebutuhan.
Tujuan yang dicapai dalam proses pendidikan bertahap, dengan metode yang berbeda pada tiap tahap, dan bahkan metode khusus untuk tiap individu dengan keunikannya adalah membentuk kemampuan mengontrol diri.
Proses pendidikan dalam stoikisme juga membuka ruang dalam bentuk hukuman, namun dalam koridor edukasi, adil dan rasional. Latihan dalam stoikisme yang dilakukan secara terus-menerus, dalam praktik keluarga seperti yang dilakukan oleh Henry Manampiring kepada anaknya, akan menciptakan ketahanan mental. Latihan yang terus-menerus ini berpijak pada contoh dari orang tua, contoh dari guru, dan menggali kembali adat kebiasaan.
Ketahanan mental dalam dimensi kehidupan yang penuh dengan kejutan informasi akibat ledakan informasi ini diperlukan sebagai cara untuk sehat secara mental dan menjadi lebih bermoral. Stoikisme bisa menjadi terapi untuk masalah kesehatan mental. Stoikisme ini sangat beragam dan luas dan dikenal pula sebagai ajaran sekolah. Stoikisme berpijak pada perkembangan logika (terbagi dalam retorika dan dialektika), fisika, dan etika (memuat teologi dan politik). Penganut stoikisme memilih sikap hidup yang menekankan pada apatheia, yaitu hidup pasrah atau tawakal menerima keadaannya di dunia.
Stoikisme berpijak pada perkembangan logika (terbagi dalam retorika dan dialektika), fisika, dan etika (memuat teologi dan politik). Penganut stoikisme memilih sikap hidup yang menekankan pada apatheia, yaitu hidup pasrah atau tawakal menerima keadaannya di dunia.
Rm. Setyo menjelaskan dengan detail bahwa stoikisme bisa menjadi jalan hidup (way of life) dengan cara yang praktis, dan bisa dipraktikkan di dunia pendidikan, termasuk di keluarga. Stoikisme adalah cara hidup yang menekankan dimensi internal manusia. Seorang stoik dapat hidup bahagia ketika ia tidak terpengaruh oleh hal-hal di luar dirinya. Dalam stoikisme, yang penting jiwa atau logos yang rasional.
Comments