Di Kuburan ...
INDONESIA sedang dibingungkan masalah penguburan dan kuburan. Bingung gara-gara wabah. Di sekian kota dan kabupaten, tempat untuk penguburan sudah penuh. Kebijakan-kebijakan “mendadak” dibuat demi kuburan. Kerja melelahkan dan kesedihan akibat kematian-kematian terus bertambah. Indonesia berlakon kuburan.
Di Solo, 16 Juni 2021, kuburan malah menjadi sasaran perusakan. Pelaku adalah anak-anak terpengaruh tafsir “mengeras” atas ajaran agama. Makam-makam dirusak berdalih salah memahami agama. Merusak dengan benci. Mereka belum tuntas mendapat pelajaran kuburan, telanjur mendapat pengertian-pengertian salah. Kuburan menjadi tempat bermasalah di luar wabah. Di situ, anak-anak menjadi pelaku setelah mendapatkan pelajaran menolak etik-religius untuk menghormati perbedaan. Kuburan muncul sebagai masalah tambahan, setelah kita diprihatinkan kuburan dan wabah.
Kasus itu disusul dengan kebingungan dalam membuat kebijakan pemakaman. Di Radar Solo-Jawa Pos, 8 Juli 2021, terbaca berita prihatin. Pejabat di DPKPP Kota Surakarta mengatakan: “Jumlah pemakaman menggunakan protokol Covid-19 di Kota Solo meningkat signifikan. Lima TPU di Solo menjadi tempat sibuk gara-gara wabah. Lahan untuk penguburan hampir habis. Wabah belum rampung, kita masih menunggu berita dan cerita lanjutan.
Di Solopos, 10 Juli 2021, kita membaca berita: “Pemerintah Kota Solo tengah menyiapkan tempat permakaman umum khusus jenazah dengan protokol pemakaman Covid-19 menyusul meningkatnya kasus kematian.” Di Solo dan pelbagai kota, pemerintah harus membuat kebijakan-kebijakan darurat bertema kuburan.
Pada masa lalu, kuburan kadang mengisahkan dakwah agama dan biografi tokoh. Di buku berjudul Inskripsi Islam Tertua di Indonesia (2008) susunan Claude Guillot dan Ludvik Kalus, kita belajar sejarah dan agama melalui nisan-nisan makam tua memiliki tulisan dan simbol. Studi inskripsi untuk makam berlatar abad XI di Leran, Jawa Timur. Batu nisan merekam sejarah dan biografi. Makam di Leran ditulisi dengan aksara Arab. Di situ, terbaca: “Dengan nama Tuhan, semua yang ada di bumi itu akan binasa….” Kuburan menjadi sumber mengungkap masa lalu saat dakwah Islam terselenggara di Nusantara. Sekian tokoh diketahui nama meski sekian nisan tak bernama. Di kuburan, para sarjana ingin mewartakan kesilaman bertema iman, penghormatan, derajat, dan lain-lain.
Kita terbiasa ziarah kubur tapi jarang memiliki kemauan mencari pengertian-pengertian tentang kematian, kuburan, sejarah, dakwah, tata sosial-kultural, dan lain-lain. Pada masa-masa berbeda, kuburan-kuburan berubah dalam penampilan. Permufakatan warga atau aturan pemerintah menjadikan kuburan-kuburan diadakan dengan kaidah-kaidah baru. Pengecualian adalah kuburan-kuburan mewah di pelbagai kota diurusi perusahaan-perusahaan partikelir. Kuburan menjadi tempat terakhir tapi terpahamkan juga bukti penghormatan dalam tema (silsilah) keluarga.
Realisme kuburan tak mudah terpahamkan, dari masa ke masa. Kita malah pernah terbujuk imajinasi absurd persembahan Iwan Simatupang melalui novel berjudul Ziarah (1969). Iwan Simatupang bercerita tentang kuburan, menampilkan tokoh-tokoh bersandar filsafat dan nalar birokratis. Tragedi terbaca tapi pesan-pesan mengenai kuburan agak terpahamkan oleh pembaca. Kuburan melampaui tempat. Makna bergerak ke sembarang arah. Kuburan diselenggarakan dengan peraturan pemerintah tapi orang-orang membuat beragam pengertian berdasarkan asmara, iman, keluarga, filsafat, ideologi, dan lain-lain.
Kuburan melampaui tempat. Makna bergerak ke sembarang arah. Kuburan diselenggarakan dengan peraturan pemerintah tapi orang-orang membuat beragam pengertian berdasarkan asmara, iman, keluarga, filsafat, ideologi, dan lain-lain.
Duka, konflik, bimbang, dendam, marah, ketulusan, kangen, dan takut bercampur dalam urusan kuburan. Pengarang menampilkan tokoh-tokoh: opseter, pengapur tembok kuburan, dan walikota. Kuburan menjadi tempat paling bermasalah dalam memahami negara, pekerjaan, dan hakikat manusia. Kita membaca konsekuensi menjadi opseter kuburan. Ia melakukan kesalahan. Walikota memecat dan memberi penjelasan: “Saudara harus dapat merasakan getaran, irama, dari masa. Saudara seperti ketinggalan zaman sadja. Ja, saudara telah terlalu lama bertjokol dipekuburan ini. Disini memang tempatnja sedjarah berhenti.” Omongan dari tokoh memiliki kekuasaan berdasarkan undang-undang.
Pegawai dipecat itu merenung: “Benar, dia telah lama, mungkin terlalu lama, betjokol dipekuburan ini, dimana didapat banjak, mungkin terlalu banjak, bajang-bajang dan kediaman. Tapi, hal-hal ini djuga jang telah memberi kesempatan kepadanja untuk berkenalan dengan kebenaran dari djenis jang subtil: jang memperhitungkan apa jang disebut nuans. Ja! Nuans-lah jang terlalu sedikit sekali diperkirakan dalam undang-undang dasar tiap-tiap negara.” Pembaca menikmati halaman-halaman novel dengan berpikiran filsafat: mengetahui derajat manusia dan negara dalam kematian.
Kita memiliki sumber-sumber dalam pelajaran kuburan. Di sekolah, rapat, pengajian, atau diskusi, masalah-masalah bertema atau berkaitan kuburan mungkin jarang mendapatkan pendalaman. Kuburan dianggap tempat bagi orang mati. Pengertian itu-itu saja. Kita menjauh dari pelajaran kuburan pernah disampaikan leluhur, orangtua, atau orang bijak dalam gubahan sastra, tembang, atau gambar. Kita mengalami hidup dalam suasana-suasana memungkinkan melupa atau tak menggubris kuburan. Pelajaran-pelajaran lama tertinggal di masa lalu. Pelajaran-pelajaran baru belum disusun. Kita pun maklum bila kedangkalan dalam pengetahuan kuburan berakibat kebencian, kemarahan, curiga, sombong, dan lain-lain.
Kita mengalami hidup dalam suasana-suasana memungkinkan melupa atau tak menggubris kuburan. Pelajaran-pelajaran lama tertinggal di masa lalu. Pelajaran-pelajaran baru belum disusun. Kita pun maklum bila kedangkalan dalam pengetahuan kuburan berakibat kebencian, kemarahan, curiga, sombong, dan lain-lain.
Di kancah politik, kita diajari kuburan secara formal dan doktrin. Pada peringatan hari-hari nasional, para pejabat ziarah kubur di taman makam pahlawan. Pada ulang tahun kota atau kabupaten, para pejabat berziarah ke makam-makam dianggap sebagai pemula atau leluhur. Hari-hari menjelang hajatan politik, orang-orang ingin masuk gedung parlemen atau menjadi penguasa melakukan ziarah ke pelbagai tempat. Sekian hari lalu, warga Solo mungkin bingung melihat pemasangan bendera dan baliho memuat foto tokoh politik nasional dan menjabat menteri. Solo tampak “menguning”. Kejutan tak cuma di jalan-jalan. Para pembaca koran-koran mendapat kejutan dengan pemuatan berita di halaman muka: tokoh nasional itu berkunjung ke Solo untuk ziarah. Berita terpenting adalah pengakuan bahwa si tokoh masuk trah Mangkunegaran. Kuburan terlalu politis dengan penokohan dan imajinasi kekuasaan menuju: tradisional atau modern.
Dulu, Solo memiliki tokoh berpengaruh dalam omongan dan tulisan. Ia hidup dalam zaman bergerak. Sejak awal abad XX, si tokoh berseru tema-tema besar: agama, politik, buruh, pers, dan lain-lain. Ia menggerakkan pers, menghimpun buruh, dan turut dalam pergerakan-pergerakan politik. Ia disebut Hadji Misbach. Orang-orang mungkin enggan menganggap ia adalah “leluhur”. Ia pernah menggerakkan sejarah Solo tapi lekas tak terbaca gara-gara penguasa (kolonial dan Orde Baru) menempatkan Hadji Misbach di kubu kiri. Pengecapan berakibat ia terhilangkan dari memori publik dan penghormatan. Tahun demi tahun, ia mencipta biografi di Solo. Masa itu terhenti akibat hukuman pembuangan. Kematian tak memungkinkan ia dikuburkan di Solo. Nasib tak untung. Hadji Misbach berada dalam masa sulit, tak mungkin kembali atau mendapat penghormatan di Solo. Ia mungkin salah waktu dibandingkan para tokoh politik berlatar abad XXI memahami kuburan-kuburan berargumentasi ideologis.
Haji Misbach dibuang ke Manokwari (1924-1926) demi stabilitas politik. Thung Ju Lan (2013) mengungkap peran Hadji Misbach di Manokwari dengan permulaan keprihatian kuburan dan kesaksian. Kuburan Hadji Misbach bernasib buruk. Orang-orang menduga ia dikuburkan di tanah pemakaman Penindi. Pada suatu masa, kuburan-kuburan tergusur akibat pendirian kantor RRI dan lapangan tenis. Semula, kuburan itu umum. Di situ, ada kuburan kalangan Kristen, Islam, dan Cina. Sisa-sisa kuburan dan sejarah makin tak terbaca. Thung Ju Lan menulis: “Namun untuk kuburan-kuburan tua, termasuk kuburan yang dianggap makam Hadji Misbach tidak bernama. Entah, kapan dan oleh siapa kuburan itu dikenali sebagai makam Hadji Misbach juga sulit ditelusuri.” Sejarah tak berhenti di situ. Sejarah justru tak terbaca dan sulit terketahui berhenti.
Kini, kuburan-kuburan masih politik meski kita mengetahui kemeranaan akibat wabah. Kaum politik mungkin menunduk sejenak turut berduka dengan alamat kuburan. Mereka tetap saja bakal mengartikan kuburan adalah politik gara-gara persaingan makin dekat. Hari-hari mendebarkan membutuhkan kuburan demi capaian-capaian kekuasaan. Begitu.
Bandung Mawardi
pemenang 3 Sayembara Kritik Sastra DKJ 2019,
Kuncen Bilik Literasi, Penulis Buku Terbit dan Telat (2020),
Silih Berganti. Esai-esai Tenger (2020)
FB: Kabut
Comments