Di Hotel
BOCAH sering terlambat mengetahui segala hal pernah bingung dengan bangunan di pinggir kali. Di depan, terbaca ada papan bernama hotel. Bangunan sederhana tapi disebut hotel. Ia dan teman-teman sering melewati atau menatap saat berkeliaran mencari ikan di sungai atau panen pisang di pinggiran sungai. Malam, ia dan sekian remaja kadang mencari belut sambil mendekati hotel bernama sosok perempuan moncer dalam sejarah Jawa. Mulut para remaja itu kadang mengomongkan hal-hal berkaitan lelaki dan perempuan alias berahi. Si bocah mendengar sambil berimajinasi. Oh, hotel itu tempat untuk kelonan! Pengertian tolol dan lugu tanpa membuktikan, tanpa susunan argumentasi, tanpa lacakan informasi. Sejak lama, hotel itu memang sering terucap dalam obrolan atau lelucon, selalu saja masalah perempuan dan kelonan.
Pada suatu masa, ia masih bercelana merah dan berbaju putih. Bocah ingusan! Sawah-sawah tempat untuk bermain dan angon itu berubah! Orang-orang dan pelbagai alat bangunan berdatangan dalam adegan kolosal. Konon, sawah-sawah bakal berubah menjadi hotel. Di rumah, ia melihat para buruh “menumpang”. Puluhan orang dari sekian daerah datang bekerja dalam pendirian hotel. Kesibukan di rumah bertambah. Keberadaan puluhan orang “menumpang” itu dibahagiakan dengan ketersediaan sarapan, makan siang, dan makan malam. Pendapatan keluarga bertambah. Ia berpikiran bahwa mendirikan hotel itu sulit. Bulan demi bulan berlalu, hotel itu diresmikan. Hotel tampak gagah dan memikat. Pemandangan sawah dan sungai tak ada lagi. Adegan bocah-bocah angon dan bermain tiada. Penjelasan-penjelasan mengenai hotel perlahan diperoleh dari guru, tetangga, teman, lurah, dan lain-lain. Di desa, hotel memicu perubahan.
Ia tak pernah menginap di hotel. Ia kadang mengucap hotel saat mau turun dari bus. Terucaplah hotel, bus itu berhenti! Tahun-tahun berdatangan, hotel di desa bertambah. Hotel-hotel bernama aneh. Para bocah dan remaja tak lagi bergosip tentang berahi atau kelonan berkaitan hotel. Pada saat ia dewasa, hotel-hotel di desa memusingkan meski ia mulai sering menginap di hotel di pelbagai kota saat mengikuti beragam acara. Ia agak mengerti bahwa hotel berfaedah untuk tidur, rapat, seminar, makan, dan lain-lain. Ia sering malu bila berbagi pengalaman selama di hotel. Ia dipusingkan istilah-istilah dari bahasa Inggris. Ia sulit menggunakan apa-apa di hotel dengan tombol atau menggesek. Bingung. Malu, Sedih. Murung.
Terucaplah hotel, bus itu berhenti! Tahun-tahun berdatangan, hotel di desa bertambah. Hotel-hotel bernama aneh. Para bocah dan remaja tak lagi bergosip tentang berahi atau kelonan berkaitan hotel.
Ingatan masa lalu itu bermunculan saat membaca berita-berita mengenai nasib hotel selama wabah. Bisnis hotel merana! Pengertian dan pengisahan hotel terlalu berubah, tak lagi sama dengan pengertian dan pengisahan sejak bocah: mengetahui hotel-hotel berdiri di desa. Solopos, 1 Februari 2021, memberitakan bisnis hotel “makin tersok-seok untuk bangkit”. Para pengelola hotel bingung dalam mengundang tamu dan mendapat penghasilan. Hotel-hotel sepi. Orang-orang sulit menemukan dalih terpenting untuk membuat acara atau menginap di hotel. Sekian kebijakan pemerintah belum memungkinkan hotel-hotel semarak. Ketua BPD Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia Sutrisno Iwantoro mengusulkan agar pengelola hotel mencari tamu dari kalangan menengah-atas bermaksud isolasi mandiri. Kamar-kamar hotel bisa menjadi tempat isolasi dari situasi wabah makin absurd.
Berita itu terlalu jauh dari imajinasi dan pengetahuan tentang hotel diperoleh dari bacaan-bacaan dan obrolan. Sejarah hotel di Indonesia memuat pelesiran, kekuasaan, pesta, hiburan, dan lain-lain. Pada abad XXI, hotel dimungkinkan menjadi tempat isolasi. Wabah mengubah definisi hotel. Keramaian, kenikmatan, kehangatan, dan kemesraan berkaitan hotel berubah gara-gara wabah. Hotel telihat murung. Kita tak lagi mendengar berita konser musik, kongres, atau seminar di hotel. Sepi. Murung. Bingung.
Sejarah hotel di Indonesia memuat pelesiran, kekuasaan, pesta, hiburan, dan lain-lain. Pada abad XXI, hotel dimungkinkan menjadi tempat isolasi. Wabah mengubah definisi hotel.
Kita tak ingin ikut murung. Hotel-hotel turut dalam sejarah Indonesia, mengalami pemaknaan dalam pelbagai peristiwa dan situasi, dari masa ke masa. Kita mulai mengingat Hotel Indonesia. Hotel bersejarah tapi bukan tertua. Hotel dimaksudkan mengabarkan misi-misi besar Indonesia. Hotel terceritakan melalui politik, pariwisata, hiburan, dan lain-lain. Hotel itu kehormatan. Hotel memiliki beban-beban pemaknaan tak cuma bangunan dan fasilitas.
Di buku berjudul Hotel Indonesia (2014) susunan Arifin Pasaribu termuat penjelasan: “Hotel Indonesia dibangun pemerintah dengan dana pampasan perang Jepang. Hotel milik pemerintah ini adalah hotel bertaraf internasional pertama di Indonesia. Ide atau prakarsa mendirikan Hotel Indonesia, aset bangsa ini, datang dari Ir Soekarno, Presiden RI pertama.” Ada sejarah perang. Kita membaca juga pamrih kekuasaan. Hotel menjadi pewartaan arsitektur. Di situ, revolusi pasti disampaikan melalui beragam simbol. Hotel di Jakarta berbeda dengan sejarah pendirian hotel-hotel di desa. Kita simak: “Bung Karno memanggil tokoh perhotelan dan pariwisata Indonesia, Margono Djojohadikusumo. Mereka membicarakan lokasi dan rencana pembangunan hotel bertaraf internasional itu. Lokasinya dipilih di tempat Hotel Indonesia berdiri sekarang dekat dengan daerah "elite Menteng" dan sebuah kota satelit bernama Kebayoran Baru yang terletak di sebelah selatan Jakarta sedang bertumbuh pesat”. Hotel di kota besar, kota modern, kota berlakon revolusi. Pengetahuan itu berbeda dengan biografi masa bocah melihat hotel mengubah desa di pinggiran Solo.
Di Indonesia, hotel-hotel bertaraf internasional bertambah di pelbagai kota. Hotel-hotel memilih bernama asing ketimbang nama gampang terpahamkan dalam bahasa Indonesia atau daerah. Hotel-hotel sering berarsitektur meniru hotel-hotel di Amerika Serikat dan Eropa. Hotel itu bangunan besar dan tinggi. Hotel bertambah pengertian-pengertian. Pada suatu masa, pengajian dan pernikahan diselenggarakan di hotel. Wajar. Hotel untuk apa saja, sebelum ada usulan isolasi mandiri.
Hotel-hotel memilih bernama asing ketimbang nama gampang terpahamkan dalam bahasa Indonesia atau daerah. Hotel-hotel sering berarsitektur meniru hotel-hotel di Amerika Serikat dan Eropa. Hotel itu bangunan besar dan tinggi. Hotel bertambah pengertian-pengertian. Pada suatu masa, pengajian dan pernikahan diselenggarakan di hotel. Wajar. Hotel untuk apa saja, sebelum ada usulan isolasi mandiri.
Buku besar dan mewah berjudul Ambarrukmo (2013) juga menjadi bacaan mengingatkan hal-hal mengesankan tentang hotel beralamat di Jogjakarta. Kita mengandaikan ada perbedaan corak hotel di Jakarta dan Jogjakarta. Pengandaian saja, belum tentu benar. Sultan Hamengku Buwono X menjelaskan: “Apalagi Ambarrukmo sendiri memiliki sejarah yang lebih lama sebagai kedaton dan pesanggrahan. Hubungan antara kedaton/pesanggrahan Ambarrukmo dengan Keraton Yogyakarta merupakan modal amat penting dalam bidang wisata. Kisah bersejarah dengan dukungan situs yang masih dilestarikan memberi poin yang tidak kecil. Para tamu dapat menikmati secara langsung sambil menginap di dalamnya. Apalagi didukung dengan adanya pusat perbelanjaan terbesar dan terlengkap di Yogyakarta, Ambarrukmo Plaza, menjadikan hotel ini semakin lengkap sebagai ruang wisata dan hidupnya ekonomi kreatif”. Sejarah itu kini berubah. Hotel-hotel sedang berada dalam kemeranaan, pengisahan tak seindah masa lalu. Begitu.
Bandung Mawardi
pemenang 3 Sayembara Kritik Sastra DKJ 2019,
Kuncen Bilik Literasi, Penulis Buku Terbit dan Telat (2020), Silih Berganti. Esai-esai Tenger (2020)
FB: Kabut
Comentários