Citraan Bahasa dan Identitas
Judul : Mènèk Wit Jambu (Memanjat Pohon Jambu)
Penulis : Lia Loeferns
Ilustrator : Nai Rinaket
Penerbit : Lembaga Cahaya Nusantara (Yantra) dan Lingkarantarnusa
Cetak : Pertama, Februari 2020
ISBN : 978-623-7615-00-2
“AYO, Wit! Kanca-kancané banjur ngréwangi. Disurung waé” (Ayo, Wit! Teman-temannya membantu. Didorong saja). “Dhuh ora iso!” (Aduh, tidak bisa!). Di bacaan bocah berbahasa Jawa Mènèk Wit Jambu garapan Lia Loeferns (2020), dialog serta ilustrasi di salah satu adegan cerita ini menghadirkan keseruan sekaligus kelucuan. Dua bocah perempuan berpayah mendorong Wiwit yang gemuk. Tangan Wiwit pun memeluk pohon agar tidak melorot sembari kedua kaki bertumpu tidak kalah payah pada batang pohon jambu. Semua usaha dikerahkan agar Wiwit bisa memanjat pohon dan menyantap jambu biji langsung dari sana.
Bertualang, bermain, dan berkawan di masa kecil memang menjadi kunci cerita. Penulis mengajak kita membayangkan kampung bersungai yang bersih dan asri. Di sekitar masih banyak kebun dengan pohon-pohon buah. Anak-anak begitu gembira dan bersemangat di alam. Pembaca bisa mengingat dokumentasi Bentara Budaya Yogyakarta lewat buku Kitab Si Taloe: Gambar Watjan Botjah 1909-1961 (Sindhunata dan Hermanu, 2008). Buku-buku bacaan bocah sejak masa kolonial sampai pascakemerdekaan sering menampilkan raga anak bermain, rimbun kehidupan kampung, mencintai binatang, berkebun, memberi makan ayam, atau memanjat pohon jambu.
Mencintai alam diajarkan atau disampaikan lewat keaksaraan (buku). Sindhunata mengatakan, “Sampai alam pun selalu menyertai kita, ketika kita belajar membaca. Seakan, alam harus ikut dengan kita, ketika kita belajar mengenal aksara yang mengantar kita masuk ke dalam dunia ilmu pengetahuan". Terutama di masa kolonial, pemerintah memang menyokong pendidikan dalam rangka penerapan politik etis lewat penerbitan buku-buku ajar. Dalam politik keaksaraan ini, tidak saja tentang modernitas yang diperkenalkan kepada bocah lewat hal-hal yang bersifat keseharian. Ada citraan identitas ingin ditampilkan dari bahasa daerah, bahasa Melayu, aksara Jawa, atau aksara Latin.
Posisi Bahasa
Secara psikologis, ada yang berubah ketika produk olahan mesin cetak memasuki alam kehidupan masyarakat di tanah jajahan yang mayoritas hidup dalam kelisanan. Buku-buku mengubah konsep tentang kemelekan baca-tulis. Ada pertautan rumit antara aksara dan bahasa. Karena bahasa Melayu sebagai cikal bahasa Indonesia belum dikukuhkan, para bocah bertemu bahasa ibu yang tercitrakan dalam aksara Latin di lembar-lembar buku. Bahasa ibu yang biasanya cukup menunjukkan perhubungan kekerabatan, tiba-tiba “dipaksa” menjadi bahasa ilmu pengetahuan. Jelas, bahasa ibu lebih efektif membuka pengajaran daripada bahasa Melayu yang belum tersebar atau bahasa Belanda yang terlarang diajarkan.
Buku-buku mengubah konsep tentang kemelekan baca-tulis. Ada pertautan rumit antara aksara dan bahasa. Karena bahasa Melayu sebagai cikal bahasa Indonesia belum dikukuhkan, para bocah bertemu bahasa ibu yang tercitrakan dalam aksara Latin di lembar-lembar buku.
Cerita Mènèk Wit Jambu jelas sangat berjarak dari prosesi kemelekan (aksara) awal di Hindia Belanda, situasi politik etis, dan pertarungan antara manuskrip serta buku-buku, tapi masih mewarisi beban moral bahasa ibu sebagai bahasa pengajaran. Lia Loeferns adalah penulis di era keaksaraan cetak dan biasa menulis dengan bahasa Indonesia. Berarti, Mènèk Wit Jambu lahir di tengah masyarakat melek aksara, setidaknya benar-benar masyarakat yang sadar menjadi bagian dari arus kebudayaan (membaca) modern. Pengenalan kembali bahasa Jawa dan aksaranya, jelas terlihat bukan karena persoalan “pengentasan”, terlepas dari kenyataan kebutaan beraksara-bahasa Jawa dalam identitas kejawaan.
Alasan mengenalkan pada tradisi lebih kentara. Bahasa Jawa dan aksaranya cenderung lebih didenyutkan secara kultural, bukan terutama secara intelektual. Cerap kata pengantar Siti Khuzaimah dari Yantra ini (memang ditulis dalam bahasa Indonesia), “Dua hal penting yang bisa diambil dari seri buku cerita anak bergambar ini, pertama adalah penggunaan aksara Jawa di dalam buku, yang sejalan dengan semangat Geber Jawa – Gembira Beraksara Jawa yang senang digerakkan oleh Yantra sebagai upaya memasyarakatkan kembali aksara Jawa; selain itu dapat dijadikan media pembelajaran yang sangat efektif untuk mengenalkan aksara Jawa sejak dini. Kedua, seri ini menggali nilai-nilai di masa kanak-kanak tentang keseharian hidup yang polos tentunya, menjadi penghilang dahaga di tengah arus digitalisasi yang kian menjauhkan anak-anak dari nilai-nilai tradisi.”
Benedict Anderson (1996) pernah menulis dengan serius mengapa para pewaris budaya Jawa, seperti Sapardi Djoko Damono, Pramoedya Ananta Toer, Rendra, Goenawan Mohamad dan tentu banyak yang lain, tidak menulis dalam bahasa Jawa? Secara geopolitis, kekuasaan Belanda yang meluas pada awal abad ke-20, menjadikan Jawa dan bahasa Jawa tidak lagi utama sebagai “negara bangsa Jawa”. Bahkan, posisi bahasa Jawa terkesan sebagai pelicin saat Belanda butuh berkomunikasi di tanah jajahan. Sebaliknya, politik etis melenggangkan bahasa Melayu di persoalan birokrasi dan perhubungan antarpulau. Momentumnya memuncak pada Sumpah Pemuda 1928, kaum nasionalis Indonesia merasa perlu memiliki bahasa nasional yang menyatukan. Sumpah Pemuda dikatakan Ben sebagai kulminasi logis transformasi linguistik paling tidak dasawarsa, “bahkan di daerah-daerah yang berbahasa Jawa sekalipun, dengan mantapnya bahasa Melayu mendesak bahasa Jawa dari dunia perdagangan, politik, dan sastra.”
Maka di abad ke-21 ini, posisi bahasa daerah semakin dilematis. Pemerintah pemangku kebijakan bahasa menghimpit bahasa daerah di antara bahasa Indonesia dan bahasa asing (Inggris): Utamakan Bahasa Indonesia, Lestarikan Bahasa Daerah, Kuasai Bahasa Asing. Bahasa daerah cukup dilestarikan yang secara moral mengingatkan pada muasal kedaerahan. Melestarikan sudah cukup untuk membuktikan sembah takzim pada leluhur, tradisi, atau perasaan sadar dari masa kita berasal.
Maka di abad ke-21 ini, posisi bahasa daerah semakin dilematis. Pemerintah pemangku kebijakan bahasa menghimpit bahasa daerah di antara bahasa Indonesia dan bahasa asing (Inggris): Utamakan Bahasa Indonesia, Lestarikan Bahasa Daerah, Kuasai Bahasa Asing.
Bagi Lia Loeferns dan Yantra, ada “desakan” untuk menulis dengan bahasa ibu sebagai bagian penting dari identitas kejawaan. Ada kekukuhan menggali pengalaman berbahasa di balik latar Yogyakarta yang pernah menjadi basis kebudayaan Jawa. Dalam bentuknya, wacan atau bacaan anak, Mènèk Wit Jambu mengajak para bocah “melihat” diri dalam bahasa ibu. Bahasa sangat mungkin terdengar asing, cukup teranggap sebagai muatan lokal di sekolah, dan mungkin terdengar terlalu adiluhung daripada bahasa Indonesia atau bahasa Inggris, bahkan bagi penulis.
Lia Loeferns pasti tidak berambisi membuat anak-anak lekas insaf atas bahasa ibunya dan lantas bergegas ingin menguasai seambisius menguasai bahasa Inggris misalnya. Penulis pasti juga tidak muluk mengembalikan kondisi ideal berbahasa Jawa sebagai manusia Jawa. Mènèk Wit Jambu barangkali lebih mengundang para pembaca cilik untuk tidak hanya menemukan hubungan kekanakan dengan peristiwa berkawan, tapi menemukan diplomasi atau perkenalan dengan bahasa Jawa dan aksaranya dalam jati diri yang telah dimodernkan oleh bahasa Indonesia.
_________
SETYANINGSIH
Esais dan pengulas buku.
Menulis cerita anak, tapi lebih sering mengulas buku cerita anak.
FB: Setyaningsih
kuncen Penerbit Babon IG: @penerbitbabon
コメント