Buldan, Buku Bagus, Bangsa Buku
RAKYAT Indonesia, yang tak kalah lebih dahulu beraksara daripada Eropa bahkan sudah beraksara sebelum Amerika Serikat hadir di dunia, sudah mengenal dan menghasilkan sastrawan ampuh. Kita mempunyai La Galigo yang menjadi karya sastra-budaya paling panjang dalam sejarah manusia beraksara. Saat Denis Diderot (5 Oktober 1713- 31 Juli 1784) dan kawan-kawannya pertama kali menyusun Encyclopédie yang pertama di Eropa, kita sudah mengenal hikayat-hikayat yang, secara oral, disusun berdasarkan kisah berangkai membentuk ilmu ensiklopedis. Kita mewarisi Serat Centhini yang mulai disusun pada 1814.
Namun, Indonesia (juga kawasan selain Eropa dan Amerika Serikat) termasuk negeri yang telat sekian abad mengadopsi teknologi cetak modern sejak Gutenberg menciptakan mesin cetak tipografis sekitar tahun 1455 M di Jerman. Sejak saat itu, Eropa perlahan memasuki era niaga buku cetak modern, yang semakin massal, canggih, dan menggoda pembaca, menjadi negeri-negeri semiliar buku. Di Indonesia, niaga buku secara umum baru dimulai sejak Politik Etis di awal abad ke-20. Nenek-kakek dari ayah-ibu kita termasuk manusia awal yang membeli buku cetak modern.
Di Indonesia, niaga buku secara umum baru dimulai sejak Politik Etis di awal abad ke-20. Nenek-kakek dari ayah-ibu kita termasuk manusia awal yang membeli buku cetak modern.
Kondisi ini membentuk ekosistem niaga perbukuan di Indonesia sering timpang. Melek aksara sudah hampir 90 persen lebih, tapi hasrat membeli buku hanya nol koma sekian persen, menurut survei UNESCO pada 1992. Namun, kondisi ini tidak menggentarkan seorang pencinta buku bernama Buldanul Khuri. Pada 1992, menjelang akhir abad ke-20 dan keruntuhan rezim Orde Baru, Buldanul Khuri mendirikan Bentang Intervisi Utama (berganti nama Bentang Budaya pada 1994): satu penerbitan idealis secara visual dan isi.
Dalam sejarah jagat perbukuan di Indonesia, Bentang Budaya menjadi penerbit legendaris berkat sentuhan visualitas kover lawasan menggunakan gambar seni rupa keindonesiaan (Jawa khususnya) yang kemudian menjadi tren sampul buku estetis. Bentang berani mendobrak standar perbukuan di Indonesia dengan menerbitkan buku humaniora berkelas berat dan sastra ampuh dari sastrawan Indonesia dan dunia—dulu pernah dilakukan Pustaka Jaya, Djambatan, Balai Pustaka.
Dalam sejarah jagat perbukuan di Indonesia, Bentang Budaya menjadi penerbit legendaris berkat sentuhan visualitas kover lawasan menggunakan gambar seni rupa keindonesiaan (Jawa khususnya) yang kemudian menjadi tren sampul buku estetis.
Buldan tampaknya tidak begitu memperhatikan pangsa pasar buku berat dan bagus di Indonesia yang jarang berhasil. Semuanya demi buku bagus. “Buku adalah karya seni rupa dan karya intelektual. Karena itu, isinya harus bagus, kovernya harus bagus. Kalau isinya bagus, kovernya tak bagus, waduh, buku kok jelek. Sebagai karya seni rupa, buku harus tampil menarik. Itu artinya menghargai pembaca sebagai pembeli buku,” kata Buldan.
Hasrat demi buku bagus sejak awal sudah menghantam Bentang Budaya. Selama empat tahun pertama, ekonomi penerbit Buldan morat-marit. Tak ada satu pun bukunya disambut dengan antusias. Hanya dikagumi beberapa pecinta buku bagus. Bangsa Indonesia tak begitu berhasrat meningkatkan kualitas bacaannya. Bentang terpuruk di tengah ratusan juta warga Indonesia yang terbebas dari buta aksara dan kelas menengah yang mulai menjadi orang kaya baru. Sang penerbit idealis terbelit hutang di mana-mana.
Lalu, tanpa disadari awalnya, pada 1998 buku-buku Kahlil Gibran yang diterbitkan Bentang Budaya laku di pasar, menjadi best seller. Bentang tiba-tiba kaya. Apalagi, pada tahun 1998 sampai sekitar tahun 2004, buku-buku Bentang yang berat dan bagus mendapatkan dana hibah dari Ford Foundation. Namun, itu hanya ilusi sejenak dari kegagalan managemen Bentang dan sekaligus iklim perbukuan Indonesia. Buku-buku bagus Bentang tak dibeli rakyat Indonesia.
Terjadilah kehancuran satu penerbit buku bagus hanya dalam waktu satu dekade perjalanannya. Penerbit Bentang Budaya yang idealis dan dihormati para pecinta buku dijual, kata Buldan sendiri, dengan harga sangat murah yang sungguh memalukan untuk disebut nominalnya.
Terjadilah kehancuran satu penerbit buku bagus hanya dalam waktu satu dekade perjalanannya. Penerbit Bentang Budaya yang idealis dan dihormati para pecinta buku dijual, kata Buldan sendiri, dengan harga sangat murah yang sungguh memalukan untuk disebut nominalnya.
Etos perbukuan Buldan dan nasib Bentang Budaya adalah saksi yang sangat menarik perihal keberbukuan bangsa Indonesia: orang yang berhasrat menerbitkan buku dengan kualitas estetik dan nilai intelektualitas, menejemen niaga buku yang kurang profesional, infrastruktur niaga buku yang masih sangat kecil (Jawa sentris) dan tidak pernah maksimal, dan etos berbuku bangsa Indonesia masih sangat rendah sekali untuk buku-buku berkualitas. Dengan jumlah kelas mengengah dan atas sekitar 50 juta saja, sebenarnya nasib penerbit buku-buku berkualitas tergolong aman secara ekonomi. Namun, ternyata tidak berlaku di Indonesia. Bangsa Indonesia belum berhasrat menjadi bangsa berbuku, bahkan dibandingkan negara-negara tetangga yang jumlah penduduknya jauh lebih sedikit tapi jumlah penerbitannya jauh lebih bergemuruh dan melimpah.
Bangsa Indonesia belum berhasrat menjadi bangsa berbuku, bahkan dibandingkan negara-negara tetangga yang jumlah penduduknya jauh lebih sedikit tapi jumlah penerbitannya jauh lebih bergemuruh dan melimpah.
Begitulah nasib Buldan dan penerbitannya menjadi saksi. Pada dekade kedua, Buldan bangkit lagi berkat kehadiran media sosial. Bersama MataBangsa dan MataAngin, Buldan mencoba berdiri lagi di zaman internet. Namun, kita masih ragu apakah akan bertahan lama atau tidak. Beberapa pecinta buku di Jogja, Solo, Bandung, dan beberapa kota lain mencoba peluang yang dibuka internet.
Dari perjalanan pasang surut Buldan di penerbitan, Bentang Budaya tentu saja pantas menjadi acuan mengenai estetika perbukuan, pentingnya menejemen bisnis yang profesional meski berbasis indie, dan terutama daya lenting hidup bersama buku, bagi anak muda yang berhasrat memasuki dunia penerbitan buku di abad ke-21.
M. Fauzi Sukri, penikmat buku
FB: Fauzi Mohammad
Comments