Buku di Perjalanan
PADA 5 September 2019, penulis menginginkan hari itu bersejarah buku. Keinginan tak gampang. Sulit demi sulit ditanggungkan gara-gara tak mengerti tatanan hidup mutakhir. Penulis bersama Naimatur dan Hanputro ingin mengantar Setyaningsih ke Kampung Buku Jogja 2019 bertempat di Gedung PKKH, UGM. Perjalanan dari Solo ke Jogjakarta menggunakan kereta api. Penulis mulai mengerti pergi itu sulit. Tiket kereta api sudah wajib memesan atau membeli secara daring, tak boleh membeli di loket. Penulis pasrah dan memberi kerepotan bagi tema-teman untuk memesankan tiket. Penulis merasa patah hati. Benda di tangan penulis cuma bisa untuk mengirim-menerima pesan pendek dan bertelepon. Ketiadaan ponsel pintar bakalan mengganjar penulis mustahil bepergian sendiri naik kereta api jurusan Solo-Jogja.
Di atas kereta api dengan waktu tempuh perjalanan 1 jam, penulis sudah membawa 5 koran untuk disantap ketimbang bengong. Duduk dengan udara dingin, membaca koran-koran. Penulis tak memiliki “teman” di gerbong. Mata penulis bergerak ke sembarang arah: tak ada seorang pun membaca koran edisi cetak. Penulis pantang minder atau malu. Tiga teman duduk dekat penulis tak ada keinginan meminjam koran. Ketabahan harus berlaku. Setengah jam berlalu, koran-koran selesai dibaca khusus di rubrik-rubrik pilihan. Koran-koran lekas masuk ke tas. Penulis berganti mengambil buku di tas. Buku kecil berjudul Dongeng Pulau Tak Dikenal (2019) gubahan Jose Saramago. Menit demi menit berlalu, buku itu khatam. Novela cuma 50 halaman telah memberi pikat imajinasi mungkin melebihi imajinasi orang-orang di gerbong sedang menunduk mengurusi benda ajaib. Sekian menit kereta api bakal sampai Jogja. Penulis masih memiliki waktu untuk melamun. Pembicaraan dengan sesama penumpang agak sulit terjadi. Mereka sudah berpinsel pintar.
Sejak awal 2019, penulis dan tema-teman melakukan perjalanan Solo-Jogja untuk mengerjakan buku, mengajar, dan diskusi. Di ingatan penulis, selama perjalanan belum berjumpa seorang pun penumpang getol membaca koran edisi cetak dan buku. Tokoh diangankan itu selalu gaib alias tiada. Di gerbong kereta, peristiwa membaca buku dianggap “berlagak” atau “kuno”. Sekian orang memilih menggerakkan jari-jari di gawai, sekian orang tidur, sepasang kekasih bermesraan, dan orang-orang mendengarkan musik dengan alat menutup telinga. Sejam di gerbong digunakan di kegirangan teknologi mutakhir. Penulis ingin mencari pelamun saja sulit. Abad terlalu digital telah “membunuh” dan “memusuhi” pelamun.
Sekian orang memilih menggerakkan jari-jari di gawai, sekian orang tidur, sepasang kekasih bermesraan, dan orang-orang mendengarkan musik dengan alat menutup telinga. Sejam di gerbong digunakan di kegirangan teknologi mutakhir. Penulis ingin mencari pelamun saja sulit. Abad terlalu digital telah “membunuh” dan “memusuhi” pelamun.
Di Kampung Buku Jogja 2019, ribuan buku digelar menggoda iman para pembaca. Duit harus dimiliki untuk belanja buku. Sekian buku baru dan lawas sudah sanggup dibeli, sebelum menonton ceramah Setyaningsih di panggung terhormat. Ia berceramah tentang bacaan anak. Di Solo, ia dikenal sebagai esais, peresensi, dan penulis novel anak. Panitia sengaja mengundang Setyaningsih agar berbagi kenikmatan dan capaian dalam menekuni bacaan anak-anak. Kerumunan orang di depan panggung membuat penulis gemetar. Orang-orang terbukti masih memerlukan segala cerita tentang buku (anak). Di panggung, Setyaningsih juga “gemetar”. Puluhan buku dan majalah anak diceritakan ke penonton dan pendengar. Sekian buku sudah dianggap lawasan, sulit dicari lagi. Setyaningsih memang memilih menjalani hari-hari dengan belanja buku anak sering kondisi bekas di Gladag dan membaca ratusan buku anak.
Orang-orang berseliweran di Gedung PKKH (UGM). Peristiwa belanja buku, diskusi, dan makan-minum menjadikan tempat itu sengaja mencipta sejarah buku. Penulis merasa takjub. Buku masih penting! Anggapan agak berubah setelah diskusi bertema sejarah dengan pembicara JJ Rizal. Puluhan mahasiswa asal pelbagai kampus turut di diskusi. Konon, dosen menganjurkan para mahasiswa ikut sebagai ganti perkuliahan di kelas. Diskusi rampung, puluhan mahasiswa pulang. Mereka tak perlu mampir melihat tatanan buku atau belanja buku. Duh, buku juga tak penting!
Hari sudah sore. Penulis masih menemukan buku dan majalah lawas di lapak para pedagang. Bundel majalah Basis dan Budaya Jaya penting dimiliki dan dipelajari. Kamus-kamus lawas dan buku pengajaran bahasa Indonesia masa pendudukan Jepang garapan Imam Soepardi wajib menjadi bacaan. Duit di kantong sudah habis. Sore terasa sumuk! Penulis keterlaluan menganggap majalah dan buku lawas itu penting. Doa harus diucapkan kepada Tuhan agar ada pemecahan masalah demi membeli majalah dan buku. Detik demi detik berlalu. Penulis mulai menemukan jawaban meski masih meragukan. Niat sudah bulat. Penulis meminta bantuan Setyaningsih berkirim pesan ke pengarang bercap “kasih”. Isi pesan adalah permintaan duit untuk belanja majalah dan buku demi kebaikan di dunia dan akhirat. Menit-menit berlalu terasa kencang. Surup. Jawaban pun sampai. Berhasil! Penulis berhasil mendapat duit. Lekaslah duit diberikan ke para pedagang. Pulang membawa majalah dan buku lawas. Penulis bertambah kepastian bahwa membaca buku, majalah, dan koran itu penting. Membaca dalam edisi cetak! Membaca pun berurusan dengan mengamalkan perintah-perintah Tuhan.
Menit-menit berlalu terasa kencang. Surup. Jawaban pun sampai. Berhasil! Penulis berhasil mendapat duit. Lekaslah duit diberikan ke para pedagang. Pulang membawa majalah dan buku lawas. Penulis bertambah kepastian bahwa membaca buku, majalah, dan koran itu penting. Membaca dalam edisi cetak! Membaca pun berurusan dengan mengamalkan perintah-perintah Tuhan.
Malam tiba di rumah. Buku dan majalah menghuni rumah (Bilik Literasi). Buku-buku baru rampung dibaca, menjadi resensi-resensi wagu. Buku dan majalah lawas dibaca bermaksud mengenali para tokoh di masa lalu dan ide-ide bersemi puluhan tahun silam. Belanjaan dari Kampung Buku Jogja 2019 itu perlahan terbaca satu demi satu. Penulis bahagia masih diperkenankan Tuhan menjadi pembaca meski belum menjadi umat berponsel pintar dengan membaca pelbagai hal di saluran-saluran belum bisa terimajinasikan. Penulis masih terhindar dari adegan menunduk menatap gawai. Menunduk tetap membaca buku, majalah, dan koran.
Pengalaman dan kesan itu mendapat “ejekan” gara-gara membaca berita tentang Gubernur DKI Jakarta, MRT, dan buku. Tuduhan penulis bahwa para penumpang kereta api atau bus emoh membaca buku telah “dibatalkan” secara mendadak oleh kebijakan baru di Jakarta. Pada peringatan Hari Aksara Internasional, 8 September 2019, Anies Baswedan meresmikan pojok buku bagi para pengguna MRT. Peresmian dilakukan di Stasiun MRT Lebak Bulus dan Stasiun MRT Bundaran HI. Konon, kebijakan itu diniatkan “membangun gerakan baca buku”. Anies Baswedan menjelaskan bahwa warga di Jakarta sebagai bagian kota global dianjurkan memiliki tingkat literasi tinggi. Gemar membaca buku itu tanda peningkatan literasi. Membaca buku di MRT pun bukti.
Anies Baswedan pun memberi contoh saat naik MRT pulang ke Cilandak. Beliau berdiri sambil membaca buku berjudul Kisah-Kisah Inspiratif. Pilihan buku mungkin dituduh tak bermutu bagi intelektual dan pejabat seperti Anies Baswedan. Jenis buku di pojok-pojok buku stasiun MRT memang harus bisa dibaca secara singkat, tak perlu buku-buku tebal atau buku-buku bertema berat. Jenis buku disesuaikan waktu tempuh perjalanan MRT, dari stasiun ke stasiun. Sehari setelah peresmian, penulis kaget melihat foto hasil jepretan Pius Erlangga dipasang di halaman depan Media Indonesia, 9 September 2019. Lihatlah, 5 orang penumpang duduk sedang membaca! Mereka masih muda. Di dinding, ada seorang lelaki berdiri sambil membaca buku! Peristiwa itu mengharukan. Penulis harus bertobat dari segala tuduhan buruk bahwa para penumpang kereta api dan bus di pelbagai kota tak mau lagi membaca buku. Bukti telah ada dan berlangsung di Jakarta. Bukti!
Penulis belum bisa membuktikan semua kejadian menakjubkan di Jakarta. Penulis masih sering di rumah, belum dolan ke Jakarta. Foto itu membuat penulis penasaran. Sekian tahun, penulis sering melihat orang-orang berpotret dengan buku saat acara diskusi atau berkunjung ke perpustakaan. Ingat, mereka berfoto dengan memegang buku atau menjadikan deretan buku sebagai penghias. Konon, foto-foto itu dipamerkan di media sosial. Jumlah foto terus bertambah setiap hari. Foto-foto manusia dan buku mulai mengusik imajinasi. Para penulis buku mulai dipotret saat mereka menandatangani ratusan atau ribuan buku sudah dipesan para pembeli. Oh, foto diri bersama buku sedang marak. Penulis masih malu berfoto bersama buku. Orang-orang berkunjung atau sinau ke Bilik Literasi pasti mendapat larangan berpotret. Larangan tanpa argumentasi bermutu. Penulis selaku kuncen di situ cuma ingin melindungi buku-buku dari maksud-maksud picisan. Duh, kebijakan kuno dan wagu!
Penulis masih malu berfoto bersama buku. Orang-orang berkunjung atau sinau ke Bilik Literasi pasti mendapat larangan berpotret. Larangan tanpa argumentasi bermutu. Penulis selaku kuncen di situ cuma ingin melindungi buku-buku dari maksud-maksud picisan. Duh, kebijakan kuno dan wagu!
Nah, ingatan-ingatan itu mulai bermunculan saat kembali melihat foto para penumpang MRT di Jakarta, 8 September 2019, beradegan sedang membaca buku. Curiga-curiga di kepala penulis. Mereka memegang-membaca buku gara-gara sadar sedang dipotret wartawan? Apa wartawan sempat mengarahkan para penumpang agar memegang buku demi hasil jepretan bermutu sesuai tema di Hari Aksara Internasional dan kebijakan baru di Jakarta? Mereka tampak tenang membaca buku. Ponsel pintar tak tampak. Kuping mereka terbebas dari alat mendengarkan musik. Penulis lekas berdoa dan berharapan adegan itu berlangsung lama, bukan adegan manipulasi atau tampak sejenak.
Penulis pun ingin bertobat dengan segala curiga agar semua orang Indonesia berhak mulia jadi pembaca buku. Penulis meminta ampun kepada Tuhan telah berlaku sombong menjadi pembaca koran dan buku di setiap perjalanan menggunakan bus, kereta api, dan pesawat terbang. Penulis sungguh-sungguh malu berani berseru tentang buku. Penulis berlagak menjadi manusia bermutu meski terbukti “kuno” dan gagal mengerti situasi hidup mutakhir. Begitu.
Bandung Mawardi,
Kuncen Bilik Literasi Solo
FB: Kabut
Komentar