Buah dan Wabah
Hari Buah Internasional ataupun Tahun Internasional Buah dan Sayur 2021 tak ingar-bingar. Padahal, keduanya memberi pesan perubahan lewat konsumsi buah.
(Kompas, 3 Juli 2021)
DUNIA masih lara. Pengecualian kegembiraan terasa di sepakbola sedang berlangsung di Eropa dan Amerika Latin. Lara bisa reda bila orang-orang menginginkan berita-berita memuat pengharapan. Di Kompas, 1 Juli 2021, dimuat gambar unik. Gambar mungkin buah jeruk tapi penampilan terasa estetik. Di kulit buah jeruk, kita melihat ada peta Indonesia. Buah jeruk disepertikan globe. Buah itu masih sisakan selembar daun hijau. Di bawah gambar, terbaca: Hari Buah Internasional. Kita mungkin tak menjadikan itu ingatan resmi dan rutin setiap tahun. Buah mendapat hari penghormatan, menambahi jumlah hari-hari peringatan bertaraf internasional.
Pemuatan gambar cukup menimbulkan imajinasi segar. Orang makan buah ingin menikmati kesegaran dengan sekian rasa. Imajinasi rupa dan rasa perlahan berkurang setelah membaca berita: “Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) menyatakan tingkat konsumsi buah di Indonesia tergolong masih rendah berkisar 32,4 kilogram per kapita per tahun. Kondisi itu menunjukkan konsumsi buah di Indonesia jauh dari standar ideal, sekitar 73 kilogram per kapita per tahun.” Indonesia memiliki tanah subur tapi orang-orang belum mementingkan makan buah. Masa demi masa, tanah-tanah di Indonesia memang sering bercerita padi, singkong, jagung, teh, kopi, sawit, dan karet, ketimbang beragam buah. Pertanian buah tetap terselenggara di pelbagai tempat tapi belum “roman terbesar” dalam sejarah Indonesia.
Para leluhur tak pelit memberi warisan imajinasi-imajinasi buah melalui cerita, gambar, tembang, dan lain-lain. Kita mendapat pemaknaan buah-buah dalam ritual, makan keseharian, pesta, dan industri. Buah lekas tak mengingatkan tanah saat industri minuman dan makanan makin mengabarkan buah-buah. Buah tanpa wujud. Buah berubah rupa. Buah sering rasa. Orang-orang masih ingin memiliki masa lalu dengan merawat segala cerita berlimpahan imajinasi termiliki dongeng, peribahan, pepatah, dan segala petuah bijak. Di agama, orang-orang sadar ada pengajaran-pengajaran buah berkaitan keimanan, kemanusiaan, dan kebahagiaan.
Buah-buah dalam pengisahan suci, tak lupa bermunculan dalam tragedi atau kejahatan.
Buah belum punah di Bumi. Orang-orang masih makan dan minum buah, selain memandangi atau berimajinasi. Buah masih dimengerti penting dalam kesehatan, kecantikan, dan kebersamaan. Buah tetap menghasilkan laba besar dalam perdagangan dunia. Buah belum jemu digunakan dalam pelbagai kiasan hidup. Buah mengajak orang berpikiran mesum sampai ketakjuban estetika. Di nalar industrial, buah kadang mencipta petaka-petaka setelah perusahaan-perusahaan memilih bergelimang laba dengan kejahatan-kejahatan berpokok buah.
Buah kadang sastra. Kita simak “Sajak Semangka” gubahan F Rahardi (1983). Ia sering menggubah sastra dan mengurusi majalah Trubus, majalah getol memberitakan dan menceritakan buah. Sajak tak harus jelas: sebungkah semangka taiwan menggeliat/ dia bulat/ manis/ dan besar kemungkinan tak berbiji/ Tukirim berpisau. Lastri berpensil/ mereka bersemangka bersama-sama. F Rahardi mengungkap sikap manusia-manusia atas buah sebagai santapan dan kiasan berlaku dalam kehidupan bersama. Puisi ingin melucu sambil mengajak pembaca mengerti hubungan manusia dan buah dalam peradaban.
Puisi digubah dan dibaca berlatar abad XX. Kita mungkin terkejut mengetahui nasib buah-buah di Nusantara dengan membaca buku susunan Alfred Russel Wallace. Buku terbit seratusan tahun lalu. Pada 2009, terbit edisi terjemahan dalam bahasa Indonesia berjudul Kepulauan Nusantara: Sebuah Kisah Perjalanan, Kajian Manusia dan Alam. Buku diterbitkan Kobam dalam ukuran besar dan tebal. Kita terkesima sejak gambar di sampul. Gambar tiga perempuan dan satu lelaki. Mereka bersama buah-buah dan seekor burung. Rupa buah-buah memang penting dalam pengembaraan dan penjelasan Wallace. Di pelbagai tempat, ia berkunjung dan mencatat. Ia mengalami, mencatat secara “ilmiah” dan dokumentatif. Buah-buah menjadi perhatian selain binatang.
Pengalaman Wallace menikmati durian: “Buah ini tidak asam, tidak manis, tidak masam, tapi rasanya adalah rasa yang paling diinginkan selain rasa-rasa tersebut karena rasanya begitu sempurna. Buah ini tidak menimbulkan rasa mual atau akibat buruk lain. Sekali kita makan, maka akan semakin sulit untuk berhenti. Memakan durian adalah sensasi tersendiri yang melengkapi pengalaman dari Eropa ke Timur.” Buah itu menjadi masalah. Wallace menuliskan pengalaman melihat dan makan. Di kalangan Eropa, durian menjadi sasaran untuk pujian berlebihan. Sekian orang justru memberi kebencian, mengumbar kata-kata “menghinakan” dan “merusak”. Pertengkaran makna terjadi, menularkan pengetahuan dan pengalaman bermula buah.
Wallace gamblang menulis penilaian orang-orang Eropa atas buah-buah di Timur. Kita menganggap itu masalah kepekaan ia mengembara di hutan-hutan Nusantara. Ia menerapkan ilmu, mahir bercerita. Tulisan-tulisan mengenai flora-fauna terbaca di Eropa, pemenuhan hasrat atas pengetahuan Timur. Kita perlahan mengerti bahwa buah masuk dalam pembentukan “peradaban” terbedakan mutu. Eropa ingin tinggi dibandingkan tata cara makan buah dan pemaknaan di Timur. Pada masa kolonial, bukti-bukti tampak dari kebiasaan menaruh buah di atas meja makan. Keluarga-keluarga Eropa “menamai” pelbagai buah dengan keilmuan dan pamrih politik-kultural. Lumrah saja berlangsung perseteruan bahasa, derajat, dan ilusi global.
Sejarah buah di Indonesia paling “politis” berlangsung masa 1950-an. Kebijakan pangan dan kesehatan menempatkan buah berperan besar. Keluarga-keluarga diminta sehat dengan makan buah, pengesahan dalam empat sehat lima sempurna. Buah dalam keseharian berubah mengikuti nalar-birokrasi. Di pekarangan dan kebun, orang-orang menanam dan memetik buah. Sekian buah digunakan dalam ritual. Di keseharian, orang-orang makan buah tanpa dokumen resmi bertandang tangan dan stempel pemerintah. Mereka membuat dan mengedarkan cerita-cerita buah. Perubahan besar terjadi setelah kebijakan pemerintah dan arus perdagangan global. Buah-buah itu politik dan laba.
Pada akhir abad XX, cerita buah lekas amburadul: meninggalkan kesakralan dan ketakjuban pernah terkandung dalam cerita, rupa, dan tembang. Industri buah mengakibatkan nalar dan imajinasi berpijak kenikmatan dan menghasilkan laba besar. Buah-buah makin industrial. Orang-orang diajak menikmati minuman dijelaskan “sari” atau “rasa” buah. Buah bukan rupa. Di tatapan dan pegangan, buah itu menjadi serbuk. Buah dalam permen-permen. Buah adalah sirup-sirup pelbagai warna dan bermerek.
Buah pun tema “mendadak” dibesarkan selama wabah. Situasi dunia mengharuskan orang-orang sehat. Mereka makan buah. Anjuran-anjuran mengonsumsi buah dimaksudkan menghindari pertambahan duka akibat wabah. Penjelasan-penjelasan tentang buah berdasarkan sains. Para ahli kesehatan, aparat pemerintah, dan tokoh publik berkhotbah mementingkan buah. Pada saat orang-orang berpikiran dan menginginkan buah, industri telah kebablasan memberi ruwet berkaitan nama-nama dan nafsu ekspor-impor. Buah meninggalkan masa silam dan sejarah bercerita. Begitu.
Bandung Mawardi
pemenang 3 Sayembara Kritik Sastra DKJ 2019,
Kuncen Bilik Literasi, Penulis Buku Terbit dan Telat (2020),
Silih Berganti. Esai-esai Tenger (2020), Tulisan dan Kehormatan (2021)
FB: Kabut
Comments