Boneka Sepanjang Masa
Pada 13 April 2019, majalah Bobo berusia 46 tahun. Awet. Jutaan bocah menjadi pembaca Bobo, dari masa ke masa. Mereka memiliki kesan dan nostalgia selama sekian tahun membuka halaman-halaman Bobo. Ingatan pada cerita, puisi, iklan, dan gambar mengembalikan suasana zaman. Bobo memang memberi pengaruh besar dengan rutin terbit, awet sampai sekarang. Majalah belum berakhir seperti nasib Si Kuntjung, Gatotkaca, Ananda, dan Kawanku.
Kita ingin bernostalgia dengan Bobo lawas. Ingatan pada iklan dan halaman pengumuman lomba. Iklan Barbie berslogan “teman bermain paling asyik” dimuat di Bobo edisi 21 Juni 1990. Iklan berwarna, sehalaman. Bujukan ke bocah: “Dengan Rp 9.900 kamu bisa bermain dengan Barbie.” Jumlah duit itu mengartikan harga boneka mahal menilik masa 1990-an. Mahal itu biasa. Bocah-bocah di Indonesia telanjur menginginkan Barbie agar seperti bocah-bocah di pelbagai negara. Boneka itu menjadikan bocah berselera internasional.
Keuntungan membeli dan memiliki Barbie: “Bermain-main dengan Barbie pasti sangat mengasyikkan. Barbie bisa kamu ajak bermain apa saja. Kamu bisa ajak main ke pantai atau rias deh. Barbie kamu biar cantik seperti kamu. Yuk, main dengan Barbie, kamu dan teman-temanmu pasti lebih senang.” Barbie dan selera global mengajari bocah berimajinasi kecantikan dan busana. Bocah menggapai cantik dengan melihat Barbie, sosok mustahil mirip dengan raga dan bocah Indonesia. Barbie bermata biru, berambut pirang, berdada montok. Busana pun sering mengisahkan perempuan Amerika dengan pilihan sesuai peristiwa dan musim.
Bocah menggapai cantik dengan melihat Barbie, sosok mustahil mirip dengan raga dan bocah Indonesia. Barbie bermata biru, berambut pirang, berdada montok.
Barbie mengenakan bikini atau gaun pesta malam itu kelumrahan. Barbie datang ke Indonesia ingin jadi idaman, pujaan, dan referensi bocah-bocah Indonesia mengerti kecantikan, keseksian, busana, dan keanggunan. Iklan itu terasa “asing” tapi gampang mengena di imajinasi bocah dianjurkan memiliki “teman bermain paling asyik.” Iklan-iklan terus berlanjut dengan sodoran baju dan minyak wangi. Bocah diharapkan menjadi konsumen taat dan kecanduan.
Dulu, bocah-bocah Indonesia sempat diajak menjadikan Barbie serasa Indonesia. Bukalah Bobo edisi 10 Juni 1989! Di situ, ada pengumuman penting: “Ikutilah kontes saya dan Barbie berbaju daerah.” Barbie disepertikan perempuan di Indonesia memiliki kekhasan dalam berpenampilan. Ajakan aneh tapi menantang bagi bocah-bocah memasang identitas bercap Indonesia ke boneka dibakukan asing. Cara mengikuti kontes: “Dandani boneka Barbiemu dengan baju daerah yang kau buat sendiri (dapat dibantu ibu, kakak, atau tante).” Bocah dituntun ke pertemuan global-lokal. Barbie berdandan, bocah pun dianjurkan mengenakan pakaian daerah. Bocah dan Barbie berfoto bersama. Foto dikirimkan ke panitia untuk berebut menang.
Ingatan itu milik bocah-bocah masa akhir 1980-an dan awal 1990-an. Bocah-bocah Indonesia dituduh tak memiliki teman alias kesepian di rumah. Barangkali bapak dan ibu terlalu sibuk. Bocah bermainlah dengan boneka! Orangtua membelikan meski boneka itu mahal. Orangtua tak tega memiliki anak kesepian dan telat berimajinasi kecantikan khas Amerika. Ah, nostalgia agak dicampuri sinis! Barbie memang milik bocah-bocah di dunia, dari masa ke masa. Dunia tanpa Barbie mungkin sepi. Bocah-bocah tentu sulit mencari patokan seksi dan cantik.
Pengumuman di majalah Bobo itu memiliki kaitan dengan berita dimuat di Radar Solo-Jawa Pos, 15 April 2019. Berita berjudul “Dihias Busana Khas Nusantara, Laris di Eropa dan Asia.” Pemakai busana khas Nusantara itu Barbie. Berita mengenai perajin boneka Barbie dari kain perca. Kita menguti dari berita: “Boneka Barbie buatan Dian Kristiani hampir 80 persen berbahan limbah rumah tangga. Selain kain perca sisa batik, juga menggunakan potongan gordin dan limbah plastik. Berupa botol air mineral dan gelas plastik. Bekas gelas minum plastik dijadikan dudukan agar Barbie bisa berdiri.” Kerja itu diselenggarakan di Yosoroto, Purwosari, Laweyan, Solo.
Boneka-boneka dipasarkan ke Eropa dan Jepang. Laris! Indonesia tak lagi cuma pasar bagi Barbie tapi mengadakan Barbie berselera Indonesia: dijual ke negara-negara memiliki penggemar Barbie. Kaitan dengan nostalgia di Bobo adalah busana.
Boneka-boneka dipasarkan ke Eropa dan Jepang. Laris! Indonesia tak lagi cuma pasar bagi Barbie tapi mengadakan Barbie berselera Indonesia: dijual ke negara-negara memiliki penggemar Barbie.
Keterangan Dian mengenai permintaan konsumen luar negeri: “Mereka lebih suka boneka dengan kostum karnaval khas Nusantara. Baju-baju adat Indonesia. Bahkan, ada yang memesan boneka dengan baju adat Jawa.” Kini, kita mulai berpikiran bahwa Barbie itu mengabarkan dan mengisahkan Indonesia ke pelbagai negara. Pengisahan melalui busana. Barbie tak pernah lahir dari ibu Indonesia.
Kita membuka saja buku berjudul panjang Kisah Sukses Bisnis Barbie: Belajar dari Keberhasilan Ruth Handler Mendirikan Bisnis Boneka Terbesar di Dunia (2010) susunan Robin Gerber. Buku bukan bacaan bocah. Buku terasa mengejutkan dan rumit bagi imajinasi bocah telah dicukupkan memiliki Barbie berslogan “teman bermain paling asyik.” Barbie dibuat mengacu ke biografi masa bocah Ruth Handler. Masa lalu di keluarga sebagai bocah memunculkan pemikiran: “Para gadis kecil cuma ingin menjadi gadis dewasa.” Barbie memang bukan bocah tapi dewasa. Boneka dimainkan bocah agar merasa sudah dewasa. Iklan awal untuk Barbie pada 1959 dan masa 1960-an memang rangsangan menjadi dewasa.
Kita mengutip di buku: “Barbie memulai debutnya di televisi pada Maret 1959, bukan sebagai boneka melainkan seakan ia adalah seorang model fesyen. Untuk iklan mainan, ini adalah wilayah yang belum terjamah. Hanya sekali, dalam iklan berdurasi 60 detik itu, Barbie disebut boneka. Mainan plastik itu hanyalah Barbie, seorang gadis yang berenang, berdansa, berpesta dan berganti busana.”
Kemunculan Barbie di pasar Amerika Serikat dan Eropa membikin geger, dari bisnis sampai isu feminis. Pada masa 1960-an, Barbie “menguasai” imajinasi dunia. Ia bukan boneka diperlakukan sebagai bayi di mainan. New York Times (1963) mulai mendapat pengertian baru bahwa Barbie itu revolusioner bagi bocah perempuan. Boneka jadi cerminan diri menjadi dewasa: cantik, bermata biru, seksi, berdada montok, anggun, dan berambut pirang. Dampak paling awal adalah Barbie membarakan perdebatan seksisme dan feminism pada masa 1960-an. Pada boneka, dunia sedang membentuk sejarah baru.
Barbie pun berdatangan ke Indonesia. Kedatangan lekas mendapat tepuk tangan, pelukan, dan ciuman. Barbie datang membawa pengertian-pengertian mengejutkan melampaui masa lalu bocah bermain boneka-bayi atau mengenali boneka di seni tradisional: wayang golek. Barbie mengalahkan impian bocah menari selaku ibu dengan menggendong boneka-bayi dan berpayung. Lenggak-lenggok dan senandung dalam tari berubah kesibukan bermain bersama Barbie. Bocah memiliki tugas mulia mendadani Barbie, dari sisiran-tatanan rambut sampai pilihan busana. Pada abad XXI, industri Barbie mulai menampilkan kelokalan agar berterima di pelbagai negara. Urusan warna kulit, jenis rambut, wajah, dan busana mulai disajikan berimajinasi lokalitas demi pasar terus membesar. Barbie mungkin berjanji ingin terus membentuk sejarah bocah-bocah dunia sepanjang masa. Begitu.
Bandung Mawardi,
Kuncen Bilik Literasi,
Comments