"Bertemu" dan "Bersama"
Bandung Mawardi
PADA 1996, dua ribu pemukim menempati rumah-rumah di Florida, Amerika Serikat. Mereka membentuk komunitas high-tech bernama Celebration. Di situ, para pemukim memiliki komputer untuk mufakat hidup bersama. John Naisbitt, Nana Naisbitt, dan Douglas Philips dalam buku berjudul High Tech, High Touch: Pencarian Makna di Tengah Perkembangan Pesat Teknologi (2001) menganggap Celebration itu permulaan dari tata kehidupan komunitas berteknologi dengan mengurangi atau meniadakan tatap muka bagi sesama penghuni perumahan di Florida. Celebration dianggap oleh mereka sebagai “teknologi pembangun komunitas.” Orang-orang di rumah saja untuk segala hal dan kepentingan. Mereka tak membuat pertemuan di suatu tempat. Pertemuan warga sengaja diadakan secara online. Orang-orang berada di rumah tapi “merasa” mengalami pertemuan. Kota-kota masa depan di abad XXI memang diangankan menjadi kota berteknologi tinggi.
Buku lama itu terbaca saat kita membaca Solopos edisi 27 Mei 2020. Di halaman muka, kita melihat “kompilasi tangkapan layar dari gawai dan laptop warga saat silahturahmi dengan saudara, orang tua, maupun teman menggunakan video calla merayakan Hari Lebaran, Minggu (24/5).” Kita diajak mengesahkan peristiwa baru dalam situasi pandemi: “silahturahmi virtual”. Kita takjub dengan keikhlasan dan kesungguhan orang-orang saling meminta dan memberi maaaf melalui perangkat teknologi mutakhir. Mereka bisa saling memandang dan bicara. Orang-orang sibuk dan heboh memandangi layar: pagi, siang, sore, dan malam.
Kita takjub dengan keikhlasan dan kesungguhan orang-orang saling meminta dan memberi maaaf melalui perangkat teknologi mutakhir.
Penulis pernah khatam novel berjudul Layar Terkembang gubahan Sutan Takdir Alisjahbana. Novel memuat indoktrinasi “pembaratan” atau godaan modernitas berlatar Indonesia masa kolonial. Novel menggunakan diksi “layar”. Sampul novel cetakan kedua terbitan Balai Poestaka (1938) itu memasang gambar lelaki-perampuan di perahu dengan layar terkembang saat ombak menerjang. Penulis berimajinasi dan memahami layar itu kain. Di novel, “layar” menjadi metafora atas keberanian menanggung risiko atas sikap hidup. Pada 2020, layar itu berubah arti secara drastis. Layar menjelaskan teknologi dan sikap kita di hadapan gawai, laptop, dan televisi.
Kebingungan atas “layar” agak berkurang setelah membaca buku berjudul Identitas dan Kenikmatan: Politik Budaya Layar Indonesia (2015) garapan Ariel Heryanto. Layar dijelaskan dalam kebiasaan menonton di Indonesia. Teknologi menjadi penentu. Ariel Heryanto mendeskripsikan: “Di tengah ekspansi industri media global maupun nasional yang belum pernah sehebat sekarang, juga jejaring global media sosial, kebanyakan pertempuran ideologis untuk mengisi kekosongan posisi hegemonik kekuasaan terjadi di arena budaya populer, dalam berbagai bentuknya, dan dirancang dengan sasaran kaum profesional yang sedang berasa di tengah-tengah karir mereka, serta kaum muda perkotaan yang tengah melonjak jumlahnya.”
Teknologi itu “kebutuhan pokok” bagi mereka dalam menunaikan kerja, mengonsumsi, membentuk gaya hidup, menganut ideologi, dan lain-lain. Sekian hal ditentukan oleh layar. Kita berada dalam screen culture atau budaya layar (sinema, televisi, internet, dan media sosial).
Pandemi memastikan budaya layar tak melulu milik kaum profesional atau kaum muda perkotaan. Orang-orang di pelbagai tempat dengan kelas sosial dan anutan ideologi berbeda memungkinkan bermufakat dalam budaya layar. Pilihan bersama terbentuk oleh kebijakan-kebijakan pemerintah dan keinsafan atas tatanan hidup mutakhir. Orang-orang memutuskan “terhubung” atau mengalami “bersama” melalui budaya layar dalam urusan pendidikan, bisnis, keagamaan, seni, sosial, dan lain-lain. Di buku garapan Ariel Heryanto, kita sudah mencicil pengetahuan dominasi budaya layar abad XXI menjangkiti Indonesia.
Pandemi memastikan budaya layar tak melulu milik kaum profesional atau kaum muda perkotaan. Orang-orang di pelbagai tempat dengan kelas sosial dan anutan ideologi berbeda memungkinkan bermufakat dalam budaya layar.
Bekal tambahan untuk mengerti situasi mutakhir diberikan Yasraf Amir Piliang melalui buku “rumit” terbaca bagi orang telat berurusan dengan teknologi dan adab mutakhir. Buku itu berjudul Multiplisitas dan Diferensi: Redefinisi Desain, Teknologi, dan Humanitas (2008). Para pembaca buku masih ingat Yasraf Amir Piliang mengajukan buku-buku berjudul “mengerikan” sejak masa 1990-an: Dunia yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-Batas Kebudayaan, Sebuah Dunia yang Menakutkan, Dunia yang Berlari: Mencari “Tuhan-Tuhan” Digital, dan lain-lain. Masalah-masalah kontemporer berlangsung di dunia dijelaskan dengan bahasa-bahasa “memusingkan” tapi membuat pembaca mendapat “pemastian” bahwa sekian gejala teknologi mutakhir menular pula di Indonesia.
Pada hari-hari masih di rumah, kita “terpaksa” membaca (ulang) rangkaian kata Yasraf Amir Piliang: “Mesin-mesin layar di dalam heterogenitasnya (televisi, video, komputer, internet) tidak saja kumpulan mesin konkret, tetapi ekosistem mesin abstrak, yang beroperasi dalam keberbedaannya di hadapanku, seperti mesin kecepatan, mesin resistensi, mesin kompresi, mesin pemadatan, mesin inersia, mesin implosi.” Pada abad XXI, layar itu pokok atau tema besar dalam tatanan hidup global. Ketakjuban dan kegirangan mengalahkan dampak-dampak menakutkan. Segala “kebaruan” dari layar justru mengundang orang-orang dalam penggunaan dan pemaknaan berlebihan untuk memastikan mengalami hidup mutakhir berpatokan “terhubung”. Ruang dan waktu mengalami perubahan makna secara drastis, sulit terpahami bagi pikiran-pikiran lawas dan kengototan menganut tatanan hidup lama: ingin berjarak dari teknologi-teknologi layar.
Kita mencatat Lebaran dalam situasi pandemi membenarkan silahturahmi virtual. Orang-orang di rumah saling mengabarkan dan membuat peristiwa pengganti untuk sungkem atau bersalaman dengan orang-orang di rumah berbeda. Bahasa digunakan selama di tatapan layar perlahan mengalami perubahan. Kesadaran berbusana dan pilihan latar tempat diusahakan mengimbuhi makna “kehadiran” dan “pertemuan”. Orang-orang merasa masih mungkin memakna Lebaran dan keluarga meski terpisah tempat. Pada layar-layar, adab kebaruan dan pemaknaan religius berlangsung dengan dalih menghindari pelbagai keburukan bila berkerumun. Layar dalam episode “kebenaran” dan “kemenangan”. Kita menduga tata cara baru bakal berkelanjutan di masa-masa mendatang.
Kita mencatat Lebaran dalam situasi pandemi membenarkan silahturahmi virtual. Orang-orang di rumah saling mengabarkan dan membuat peristiwa pengganti untuk sungkem atau bersalaman dengan orang-orang di rumah berbeda.
Halaman muka di Solopos, 27 Mei 2020, anggaplah dokumentasi: dipelajari lagi setelah pandemi selesai. Tampilan ratusan orang di situ membuktikan layar menjadi referensi “bertemu” dan “bersama”. Lebaran terhindar dari sepi atau keasingan. Lebaran tetap bermakna dan mengalami imbuhan makna gara-gara layar. Pengalaman jutaan orang di layar memunculkan kehebohan, kelegaan, penasaran, dan ketagihan. Pada episode terbiasa dan ketagihan, layar memastikan orang-orang berada di “zona mabuk teknologi” seperti dijelaskan dalam buku High Tech, High Touch. Mabuk itu sulit rampung. Mabuk justru disusuli kebaruan-kebaruan mencipta ketagihan tiada tara.
Sony Subrata dalam pengantar di buku berjudul Jagat Digital (2019) garapan Agus Sudibyo, mengajukan pembenaran masih mungkin diralat: “Di era internet of things saat ini, toh, manusia modern tidak mungkin menghindar dari gerak digitalisasi. Semua hal dalam hidup kita terkoneksi dengan internet dan diperantarai perangkat-perangkat digital. Cara hidup kita, bermasyarakat, berpolitik, bahkan beribadah sedemikian rupa dipengaruhi oleh teknologi digital". Kita menganggap segala atau melulu digital itu kelumrahan masa sekarang. Bantahan atau melawan seperti tindakan tolol dan “keterpinggiran”. Layar pun semakin berkuasa. Kita “mengangguk” memberi bukti menerima dan menggunakan layar saat hidup di tatanan baru memiliki kaidah-kaidah teknologis. Begitu.
_________
Bandung Mawardi,
pemenang 3 Sayembara Kritik Sastra DKJ 2019,
Kuncen Bilik Literasi, Penulis Buku
Pengisah dan Pengasih (2019)
FB: Kabut
Comentarios