top of page
Cari
Majalah Basis

Bersantap (Cerita) Anjing


PARA pembaca sastra mungkin menganggap bersantap cerita anjing itu “kenikmatan” ketimbang bersantap sepiring daging anjing. Di teks-teks sastra Jawa klasik, anjing sudah sering muncul dan mendapat pembahasan beragam, dari makanan sampai mistisime. Kita ingin bersantap cerita anjing lagi tapi dari teks-teks sastra tak terlalu lawas. Pilihan membaca teks-teks sastra untuk turut menanggapi kehebohan anjing di Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah.


Pada 20 Juni 2019, 37 pedagang berjualan daging anjing diundang di Rumah Dinas Bupati Karanganyar. Para pedagang diajak bersantap satai kambing dan olahan daging menthog. Suguhan bermaksud menandingi rasa olahan daging anjing. Percakapan serius diadakan Bupati dan para pedagang, menghasilkan simpulan bahwa para pedagang diminta beralih usaha. Pemerintah memberikan modal usaha sebesar 5 juta rupiah. Kebijakan mengacu ke Surat Edaran Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian, No. 9874/SE/pk.420/F/09/208 tentang Peningkatan Pengawasan terhadap Peredaran/Perdagangan Daging Anjing (Solopos, 21 Juni 2019). Berita demi berita bakal terus beredar mengajak kita memikirkan nasib pedagang, anjing, dan penggemar daging anjing.


Kita jeda dulu dengan menikmati gubahan sastra, bersantap cerita dan memberi makna. Kita mulai dengan mengenang ketokohan Kuntowijoyo selaku pengarang memiliki latar keilmuan sejarah. Ia pun rajin menulis esai-esai mengenai kejawaan dan keislaman. Pada 1997, Kuntowijoyo semakin tenar dengan 3 cerpen masuk dalam Cerpen Pilihan Kompas. Cerpen berjudul “Anjing-Anjing Menyerbu Kuburan” dipilih menjadi cerpen terbaik. Kita tak perlu kaget jika Kuntowijoyo fasih bercerita anjing. Para penekun sastra sudah mafhum bahwa Kuntowijoyo memang memiliki kekhasan dalam menceritakan binatang.


Di cerpen, Kuntowijoyo menempatkan anjing sebagai pihak penentu dari aksi pencurian mayat di kuburan. Cerita khas di Jawa. Tokoh menganut klenik merencanakan pencurian mayat pada malam hari. Ia mengikuti ajaran dukun demi meraih duit dan harta berlimpah. Kemiskinan sudah tak tertahankan. Ritual demi ritual dijalani dengan ujian terakhir di kuburan. Sasaran adalah kuburan orang meninggal Selasa Kliwon. Si tokoh sadar jika kuburan bakal dijaga orang-orang sampai hari ketujuh. Ujian terakhir harus dilakoni. Ia sudah berani tanggung risiko. Ritual menebar beras kuning disertai mantra di empat arah dan titik pusat sudah dijalankan. Para penjaga kuburan tertidur. Detik-detik keberhasilan sudah terasakan.


Tokoh itu menggali tanah dengan tangan. Detik demi detik, tangan terluka dan berdarah. Peti kuburan dibuka. Kejadian tak terduga menjadikan ujian akhir itu berantakan. Semua gara-gara anjing. Kuntowijoyo menceritakan: “Dengan cekatan dibukanya kain kafan yang menutupi kepala. Eh, rupanya rambut perempuan itu terlalu panjang dan menutupi telinganya. Pada waktu itulah dia mendengar baung anjing untuk pertama kalinya. Suara anjing itu panjang dan berat, memecah kesunyian malam, menambah betapa keramatnya malam itu karena suara itu dipantulkan oleh pohon-pohon, oleh bambu berduri yang mengelilingi desa, oleh sumur-sumur berlumut, dan rumah-rumah tembok.”


Peti kuburan dibuka. Kejadian tak terduga menjadikan ujian akhir itu berantakan. Semua gara-gara anjing.

Anjing-anjing itu muncul dan terus bertambah di hadapan si tokoh. Keinginan tokoh untuk bisa menggigit dua telinga mayat selalu digagalkan oleh serbuan anjing-anjing. Perkelahian berlangsung seru. Anjing-anjing terus menggonggong dan si tokoh kewalahan. Ia gagal menggigit dua telinga milik mayat. Keinginan berlimpah duit dan harta dengan kesanggupan ritual di kuburan tiba-tiba gagal oleh kelakuan para anjing. Serbuan anjing membuat tokoh terluka dan berdarah. Peran anjing di malam keramat itu membangunkan orang-orang di desa.


Berdatanganlah mereka ke kuburan! Tokoh pencuri mayat itu tergeletak. Anjing-anjing sudah pergi dari kuburan, tak terlihat lagi. Cerita itu mencekam. Kuntowijoyo mengingatkan ke pembaca bahwa anjing-anjing berperan menjadi “musuh” bagi penganut ajaran “hitam”. Anjing itu mungkin liar tapi mengabarkan ke orang-orang telah terjadi peristiwa mendebarkan di kuburan. Cerita bakal membatalkan keinginan orang-orang untuk berdagang atau bersantap daging anjing. Mereka mengingat anjing, mengingat kuburan.


Cerita agak mengharukan disajikan Sindhunata (2003) dalam puisi panjang berjudul “Kutukan Asu”. Puisi tentu tak dibicarakan dalam pertemuan Bupati dan 37 pedagang di Karanganyar. Puisi itu cuma teringat oleh pembaca sedang menekuni tema anjing (asu) dalam kesusastraan Indonesia, dari masa ke masa. Puisi mengingatkan kita atas persahabatan lugu antara si miskin bernama Lek Juri (pedagang daging anjing di Jogjakarta) dan asu. Kita membaca sambil berusaha mengerti keinginan asu.


Sindhunata bercerita melalui tokoh asu atau anjing: Tibalah hari, di mana Lek Juri tiada mampu/ membeli lagi asu./ Akulah asu yang ia punya satu-satunya./ Ia tak tega menyembelihku/ maklum, bertahun-tahun aku adalah teman kemiskinannya./ Ditukarkannya aku dengan asu lain./ Aku tak mau pergi./ Tapi mau tak mau aku harus meninggalkan Lek Juri./ Mengiringi kepergianku, Lek Juri bilang,/ “Jangan asuku disembelih, sayang.”/ Aku dibawa ke Klaten./ Di sana aku harus tinggal./ Aku rindu Lek Juri, meski aku hanya asu./ Akhirnya, aku tak tahan, aku minggat/ mencari kembali Lek Juri./ Kutemukan dia lagi di Jokteng, jualan daging asu/ Ia memeluk aku yang dimakan rindu/ meski aku juga masih asu./ Sejak itu Lek Juri tak mau lagi/ jualan daging sesamaku asu. Bait panjang itu tanda seru bagi kita agar tak berjualan atau bersantap daging anjing. Di situ, kita membaca manusia dan anjing bersahabat, bertaut rasa untuk saling mengerti.


Romo Sindhunata tak dihadirkan dalam pelbagai kehebohan bertema anjing di Karanganyar dan pelbagai kota. Puisi cukup memadai bagi kita menginsafi peran anjing bagi manusia. Anggapan bahwa anjing itu makanan harap disingkirkan, setelah khatam cerpen gubahan Kuntowijoyo dan puisi gubahan Sindhunata. Di bait berbeda, Sindhunata memberi pengesahan: Aku ini bukan binatang jalang/ aku ini hanya khewan omahan/ teman manusia dalam kesepian. Derajat anjing bukan di piring untuk dimakan orang untuk memicu tawa kesombongan dan pamer kenikmatan. Kita memihak ke puisi gubahan Sindhunata meski memberi penghormatan atas kebijakan pemerintah dengan segala bahasa dan tindakan agak sulit dimengerti oleh para pedagang daging anjing.


Derajat anjing bukan di piring untuk dimakan orang untuk memicu tawa kesombongan dan pamer kenikmatan. Kita memihak ke puisi gubahan Sindhunata meski memberi penghormatan atas kebijakan pemerintah dengan segala bahasa dan tindakan agak sulit dimengerti oleh para pedagang daging anjing.

Kita akhiri bersantap cerita anjing dengan novel berjudul Srimenanti (2019) gubahan Joko Pinurbo. Cerita agak lucu dan mengharukan, jauh dari mencekam atau horor. Kita simak percakapan ayah dan anak. Ayah adalah penulis dengan konsep hidup “semoga”. Nafkah dari tulisan digunakan untuk menghidupi istri dan anak, selalu tak cukup. Pada suatu hari, ayah bercakap dengan anak, didahului deskripsi: “Kali lain, saat menemukan puisi bagus di koran, Ayah tersenyum dan berseru, 'Asu!' Saat berjumpa temannya di jalan, Ayah dan temannya dengan tangkas bertukar asu.

Syukurlah, Ayah tak pernah mengucapkan asu kepada saya. Tentu saja saya pun tak pernah bilang asu kepada Ayah.” Di situ, kita membaca asu jauh dari pengertian santapan di warung.


Si anak pernah mendapat pengertian tentang asu dari ayah: “Asu itu anjing yang baik hati.” Si anak pun membuat pengertian sendiri: “Asu itu anjing yang suka minum susu.” Pengertian itu membuat si ayah kaget dan bangga. Si ayah memeluk dan berkata: “Kamu punya bakat gila, anakku. Kamu akan menjadi pemain kata yang disegani asu.” Pada saat dewasa, doa itu terkabulkan. Si anak telah dewasa dan menjadi pujangga terkenal. Pujangga menekuni sastra saat ayah sudah meninggal. Penghormatan dan bakti diberikan dengan ziarah. Hubungan mereka terbentuk dalam ingatan dan pengertian asu.


Di kuburan, ia melihat Om Butet selesai berziarah di makam ayah. Joko Pinurbo berkisah: “Demikianlah, setiap kali terkenang akan ayah dan Om Butet, saya segera teringat ‘asu’ dan ‘su’. Pada saat bersamaan saya teringat Subagus. Itulah sebabnya, saya memanggilnya ‘Su’, sementara orang-orang memanggilnya ‘Gus’. Hanya dengan sepotong ‘su’, bahasa Indonesia kami jadi terasa hangat dan cair.” Joko Pinurbo ingin berlucu dan bernasihat dengan asu. Ia tak pernah memberi anjuran bahwa anjing itu pantas dimakan digenapi minum kopi dan merokok di warung. Anjing itu bahasa. Anjing itu perjumpaan. Anjing itu sastra dan keluarga.


Joko Pinurbo ingin berlucu dan bernasihat dengan asu. Ia tak pernah memberi anjuran bahwa anjing itu pantas dimakan digenapi minum kopi dan merokok di warung.

Kita sudah bersantap cerita anjing dari tiga pengarang. Kita menantikan para pengarang di pelbagai kota turut lagi menceritakan anjing demi ikhtiar merampungi lakon bersantap daging anjing. Pemerintah menunaikan tugas tanpa puisi dan cerpen. Kita saja berhak turut menunaikan misi suguhkan cerita-cerita anjing, melarang suguhan olahan daging anjing di atas meja makan. Membaca itu membuat kita takut, terharu, dan lucu. Begitu.


Bandung Mawardi, Kuncen Bilik Literasi

FB: Kabut

227 tampilan

Comments


bottom of page