Berpotret di Toilet
Bandung Mawardi
Indonesia telat memiliki peradaban kamar mandi dengan ukuran selera Eropa atau Amerika. Masa lalu orang-orang kencing atau buang air besar belum mengharuskan dalam ruangan. Di kebun, pinggir jalan, atau sungai, mereka melaksanakan kebiasaan harian untuk membuang segala kotoran dari tubuh. Mereka memiliki adab, membuat perhitungan waktu dan tempat agar perbuatan itu tak memalukan di mata orang lain. Adab bakal berubah dengan kedatangan bangsa-bangsa asing membawa hal, benda, ide, dan kebiasaan baru.
Rumah-rumah warga Eropa di pelbagai kota dan perkebunan di Hindia Belanda mulai mengenalkan tempat dinamai kamar mandi. Di situ, mereka memberi contoh kebaruan bagi kaum Bumiputra. Pengenalan kamar mandi berlangsung lama, melewati timbunan debat kesehatan, estetika, politik, sosial, etika, dan agama. Menilai asing dan kebaruan membuat kaum Bumiputra sering rapat dan berdebat, sebelum meniru atau menolak.
Menilai asing dan kebaruan membuat kaum Bumiputra sering rapat dan berdebat, sebelum meniru atau menolak.
Kita belum mendapat informasi tentang kamar mandi awal dibangun di Nusantara. Bukti berupa cerita, gambar, atau foto belum terkumpulkan untuk mengabarkan kemajuan atau kemodernan berlangsung di tanah jajahan. Kemajuan ditandai mereka mau masuk ke kamar mandi. Adab baru itu memberi bekal bagi kaum muda saat memberanikan diri pergi ke Belanda atau Eropa melanjutkan studi, sejak awal abad XXI. Mereka sudah memiliki kebiasaan bersih, sehat, dan rapi berkaitan mandi, kencing, cuci tangan, cuci muka, atau buang air besar. Di Eropa, mereka semakin mengerti sumber-sumber keteladanan modernitas.
Seabad berlalu dari pengalaman kaum muda pergi ke Eropa, kita sudah memiliki kebaruan-kebaruan dalam mengurusi kamar mandi atau toilet beralamat di rumah, sekolah, kantor, dan pusat perbelanjaan. Kamar mandi atau toilet meniru Eropa dan Amerika Serikat. Ruang dan segala fasilitas hampir mutlak sesuai selera dari negeri-negeri jauh. Kita mengandaikan mereka bercap turis bakal mengunjungi Indonesia. Nah, Indonesia tak mau dipermalukan saat mereka masuk ke kamar mandi publik atau toilet.
Turis tak selalu datang dari Eropa dan Amerika Serikat. Turis juga berdatangan dari negara tetangga di Asia Tenggara. Mereka tetap turis. Kita tak ingin mereka meledek atau kecewa. Toilet jadi ukuran. Kita maklum membaca berita berjudul “Turis Terpesona Toilet 3D di Bandara Juanda” dimuat di Media Indonesia, 26 Maret 2019. Kekaguman rombongan turis asal Malaysia gara-gara toilet di Bandara Juanda, Sidoarjo, Jawa Timur. Berita minta pujian: “Rupanya mereka ramai-ramai berswafoto di dalam toilet tersebut. Toiletnya memang keren, bersih, dan juga indah. Bagaimana tidak, di dalam toilet ini dipenuhi konsep gambar tiga dimensi (3D). Dekorasi utamanya ialah gambar Air Terjun Toran Madura.” Indonesia membahagiakan para turis. Kebahagiaan di toilet. Para tulis bakal mengabarkan di media sosial dan pulang membawa cerita toilet di Indonesia. Duh, bercerita toilet!
Toilet itu membanggakan Indonesia di mata dunia. Toilet dibangun 1 November 2018, mulai digunakan pada 23 Desember 2018. Kini, toilet itu memikat ribuan orang jika sedang berada di Bandara Juanda atau cukup memberi komentar di media sosial setelah melihat foto-foto toilet. Sekian orang memberi sebutan toilet cantik. Kehebohan toilet itu bertokoh perempuan. Toilet cantik memang untuk kaum perempuan. Toilet bertambah manfaat. Orang-orang senang dan bangga berpotret diri atau bersama teman-teman. Ungkapan setelah mereka buang air kecil, cuci muka, atau cuci tangan. Sekian turis malah sengaja cuma menjadikan toilet untuk berpotret saja.
Para turis beruntung hidup di abad XXI. Mereka berpotret dengan benda molek dan praktis. Kamera-kamera berukuran besar sudah masa lalu, tak usah dibawa masuk ke toilet untuk berpotret. Turis berpikiran tempat-tempat untuk dikunjungi dan gairah berpotret. Urusan-urusan lain mungkin tak terpikirkan atau memberi cuilan-cuilan renungan. Siapa saat masuk ke toilet dan berpotret mengingat Kodak? Abad XXI hampir kehilangan cerita mengenai Kodak, cerita fotografi, tokoh, dan industri kamera, sejak akhir abad XIX sampai abad XX.
Sekian orang memberi sebutan toilet cantik. Kehebohan toilet itu bertokoh perempuan. Toilet cantik memang untuk kaum perempuan. Toilet bertambah manfaat. Orang-orang senang dan bangga berpotret diri atau bersama teman-teman. Ungkapan setelah mereka buang air kecil, cuci muka, atau cuci tangan.
Bukalah buku berjudul George Eastman dan Kodak (1997) susunan Pieter Brooke-Ball! Buku biografis dan bisnis berpusat ke kamera. Halaman demi halaman terbuka, mata kita tak pernah melihat peristiwa pemotretan di toilet. Pembaca tiada menemukan hasil-hasil pemotretan para perempuan di toilet, sejak ratusan tahun lalu. Buku itu mungkin belum ikhlas memberi halaman bagi pilihan-pilihan selera pemotretan model perempuan di kamar mandi demi capaian artistik atau dimaksudkan mengiklankan sabun mandi, sikat gigi, pasta gigi, handuk, atau benda-bendar berselera internasional. Masa lalu, toilet atau kamar mandi memang belum pilihan tempat berpotret atau “studio” bakal memicu perbincangan ribuan orang. Dulu, George Estman berpikiran “menghilangkan kesan mistik pada fotografi dan tersedia bagi siapa saja.” Kita ingat pikiran itu sambil geleng-geleng kepala. Kamera memang dibawa jutaan orang di mana saja dan kapan saja. Kamera pun sudah masuk dan memilih “mengabadikan” toilet.
Manusia asal negeri jauh itu tak lagi mengalami hidup di abad XXI. Kamar mandi mulai jadi tema serius, idaman, dan bergengsi. Orang ingin beradab dan mulia ditentukan kepemilikan kamar mandi. Orang berperistiwa di kamar mandi melampaui kencing, buang air besar, cuci muka, atau menangis. Kamar mandi mendapatkan kriteria-kriteria indah, bersih, sehat. Ingatan pada rumah mulai mengarah ke kamar mandi. Dulu, tempat itu sering ditepikan dari keseriusan dan capaian artistik. Penempatan sering di belakang menghasilkan sebutan-sebutan mengandung malu, jijik, dan imajinasi buruk.
Kita boleh membuka IDEA edisi dijuduli 20 Inspirasi Kamar Mandi: Indah, Bersih, dan Sehat (2005). Pengantar dari redaksi penting dipikirkan: “Pada masa lalu, orang lebih memberikan perhatian pada ruang yang memiliki interaksi sosial tinggi. Ruang keluarga, misalnya. Kamar mandi dipandang sebagai sesuatu yang sudah seharusnya ada, tanpa perlu perhatian yang lebih. Namun pelan-pelan pandangan ini bergeser. Kamar mandi seolah-olah sudut yang menenangkan. Tempat yang bersih, segar, dan wangi, untuk membersihkan diri.” Kamar mandi maju menjadi tema besar, meninggalkan pengertian-pengertian sempit di “belakang”.
Namun pelan-pelan pandangan ini bergeser. Kamar mandi seolah-olah sudut yang menenangkan. Tempat yang bersih, segar, dan wangi, untuk membersihkan diri.” Kamar mandi maju menjadi tema besar, meninggalkan pengertian-pengertian sempit di “belakang”.
Di halaman-halaman berukuran besar, kita melihat ratusan foto berwarna bertema kamar mandi. Foto-foto merangsang orang-orang ingin memiliki kamar mandi sesuai selera, tak asal ada kamar mandi saja. Pilihan pada foto-foto tak perlu digenapi dengan membaca puisi-puisi gubahan Joko Pinurbo bercerita kamar mandi. Puisi berbeda rasa dengan foto. Sejak halaman awal sampai akhir, kita tak pernah melihat foto orang berada di kamar mandi sedang menjalani peristiwa-peristiwa lumrah atau aneh. Kamar mandi itu kamar mandi.
Foto bertema kamar mandi cuma bandingan sembarangan dari keinginan orang-orang menuju toilet di Bandara Juanda. Para turis berpotret ingin mengabadikan diri dan mengabarkan ke orang-orang: posisi sedang di kamar mandi. Mereka masih sopan. Mereka tak berpotret saat peristiwa-peristiwa lumrah di toilet. Mereka mesem sambil membuat adegan-adegan dianggap “sip” dalam pemotretan memakai benda molek dan praktis. Berpotret sudah terlalu gampang. Di toilet, berpotret belum dituduh memicu aib-aib. Berpotret di toilet itu justru berperan di pemenuhan janji memajukan pariwisata di Indonesia. Begitu.
Bandung Mawardi, Kuncen Bilik Literasi
Comentarios