top of page
Cari
Majalah Basis

Bercerita Busana

Mei itu busana. Di New York, Amerika Serikat, busana itu unik dan berpesan. Pada raga para tokoh terkenal di dunia, busana-busana dikenakan memberi pukau. Busana tak sembarangan. Busana bertema dengan sumber esai garapan Susan Sontag. Pada 6 Mei 2019, busana itu jadi berita di pelbagai negara. Busana dikenakan di Amerika Serikat tiba ke Indonesia sebagai berita dan foto.



Kompas, 8 Mei 2019


Kompas, 8 Mei 2019, memuat berita kecil. Katty Perry jadi perhatian: “… ia mengenakan gaun lampu lengkap dengan beberapa lampu menyala di lengan dan kepala.” Gaun buatan Jeremy Scott. Di foto, kita melihat perempuan cantik berbusana fantastis. Busana berlampu, busana selalu terang. Pemakai busana ingin memberi terang pada manusia dan dunia? Terang mula-mula di Amerika Serikat. Gaun bukan untuk bepergian, bekerja, atau beribadah.


Peristiwa dari negara Trump itu mendapat pemberitaan heboh di Jawa Pos, 8 Mei 2019. Busana dan dana amal. Busana-busana fantastis di raga para pesohor diadakan untuk pengumpulan amal. Keriuhan dan kemegahan dicipta merangsang pemaknaan besar. Foto-foto di halaman Jawa Pos memicu imajinasi meluap. Di Metropolitan Museum of Art, New York, keajaiban-keajaiban sejenak dipamerkan dan dirasakan dalam pesta, sebelum dunia berpusing lagi gara-gara seribu masalah gawat. Kita di Indonesia takjub saja. Meniru tentu susah. Di foto Cardi B mengenakan gaun berekor selebar 3 meter, kita membaca: “Butuh 35 orang untuk menyelesaikan gaun tersebut selama dua ribu jam.” Pekerjaan terlalu menginginkan sensasi dan pemenuhan janji mewujudkan busana bereferensi esai.



aol.com


Berita dua halaman ada di tabloid Nyata, 11 Mei 2019. Kita melihat foto Kim Kardashian mengenakan gaun ketat. Kejutan tampak di bentuk raga: pinggang sangat ramping dan panggul sangat besar. Pinggang seperti milik perempuan abad XVIII dihasilkan dari korset ajaib. Pilihan menampilkan pinggang kecil mengakibatkan Kim sulit duduk, kerepotan ke toilet. Semua akibat ditanggungkan demi penampilan unik dan puitik.


Di sini, kita membaca sambil terpana. Kita enggan berjalan jauh ke pemaknaan bentukan mereka. Busana itu dikenakan dan ditonton orang-orang memiliki sejarah busana terlalu berbeda dari busana di komunitas adat di seantero Indonesia. Berita-berita berdatangan membawa pula pengulangan. Kita membaca saja. Mustahil acara itu beralamat di Indonesia. Orang-orang tentu bertengkar duluan saat acara sedang direncanakan. Busana rawan menguak ide-ide berkaitan agama, adat, nasionalisme, dan lain-lain. Busana mungkin sumber perdebatan sengit terwariskan ke anak cucu sampai seribu tahun.


Sejarah busana di Indonesia ada di relief, serat, dongengan, dan lukisan. Busana-busana mengandung misi religius, etika, kealaman, gengsi, kekuasaan, dan teknologi. Ada tahun-tahun tercatat, ada tahun-tahun luput dari ingatan untuk penciptaan busana-busana pernah dirancang dan dikenakan para leluhur, ribuan tahun lalu. Imajinasi jadi pengantar meski tak sampai. Pada masa busana adalah “ilmu”, leluhur mengadakan kaidah dan makna: diajarakn dan diwariskan. Patokan-patokan diberlakukan di pelbagai peristiwa, kepentingan, waktu, dan tempat. Busana bukan cuma benda. Busana mengalami pemaknaan: bertambah atau berkurang. Busana sampai ke sakral. Busana pun dijatuhkan ke nista. Busana ingin puitis. Busana pun picisan.


Pada masa busana adalah “ilmu”, leluhur mengadakan kaidah dan makna: diajarakn dan diwariskan. Patokan-patokan diberlakukan di pelbagai peristiwa, kepentingan, waktu, dan tempat.

Busana di percakapan elitis. Busana berkaitan bahan, bentuk, pembuatan, dan dampak. Di kalangan jelata, busana tak dipaksa berlebihan arti. Busana di kecukupan raga dan kepantasan. Sejarah panjang busana belum pernah terbit peringkasan memadai. Kita selalu sulit menentukan sejarah busana, sebelum bangsa-bangsa asing berdatangan mulai “mengajari”, “mendikte”, “memaksa”, dan “menggoda” di selera busana. Sejak awal abad XX, busana di tanah jajahan harus diurusi “undang-undang” dan kemauan penguasa. Busana di politik kolonialisme.


Penghindaran masih mungkin dengan merawat tatanan lama telah diilmukan. Di Jawa “ilmu” itu dinamakan ngadi busono. Ilmu bertahan lama, mengesankan kuno tapi adaptif di pelbagai masa. Ngadi busono berarti pengetahuan dan seni berpakaian secara baik dan benar sesuai dengan adat kebiasaan dan kepribadian mementingkan kesopanan dan kewajaran dalam usaha mencapat citra anggung dan menarik. Pengertian dalam kalimat panjang itu termuat dalam buku berjudul Ngadi Saliro dan Ngadi Busono: Mustika Ratu (1984) susunan Moorjati Soedibjo.


Buku terbit dengan sandaran ke serat-serat gubahan para pujangga Jawa. Busana tak lupa dikaitkan dengan pemenuhan amanat atau nasihat penguasa di masa Orde Baru. Kadar tradisional lekas dihubungkan ke ejawantah kebangsaan atau kepribadian Indonesia. Teladan paling tampak adalah cara berbusana Ibu Tien Soeharto, ditiru para istri pejabat dan tokoh-tokoh penting di Indonesia. Busana menjadi tema besar. Di naungan politik, busana merekah makna. Busana juga berada di nalar bisnis memanen laba.


Teladan paling tampak adalah cara berbusana Ibu Tien Soeharto, ditiru para istri pejabat dan tokoh-tokoh penting di Indonesia.

Nalar bertentangan mulai dianut saat ngadi busono di hadapan busana-busana baru berselera Eropa, Timur Tengah, Korea, dan lain-lain. Debat moral sering di awalan, sebelum disusul perkara-perkara agama, identitas, dan ideologi. Busana terbebani ide dan tuduhan. Sejarah kadang dipakai di “pertempuran” mencari otentik dan ungkapan-ungkapan kemajuan alias kemodernan. Busana tak lagi soal sederhana. Busana memerlukan jawaban-jawaban dengan antrean argumentasi. Busana itu rumit, bukan urusan membeli, mengenakan, dan mengoleksi saja.


Pada masa Orde Baru, busana menjadi “lomba” atau acara tahunan. Orang-orang lawas mengenang ada sekian institusi mengadakan pemberian penghargaan pemakai busana terbaik di kalangan pejabat atau tokoh pulik. Para menteri atau birokrat sering mendapatkan penghargaan berbusana terbaik. Mereka menjadi berita di koran dan majalah. Foto-foto mereka berbusana apik dan santun dijadikan teladan bagi jutaan orang. Perlawanan diberikan Toeti Adhitama.


Majalah Mode memilih Toeti Adhitama sebagai pemenang Wanita Berbusana Terbaik 1982.

Ia tak bangga. Toeti Adhitama dongkol menganggap “dengan memberikan gelar wanita berbuasana terbaik itu panitia telah memperlakukan kaum hawa secara cengeng.” Ia memutuskan tak bakal menghadiri acara anugerah diadakan di Balai Kartini, Jakarta (Tempo, 12 Februari 1983). Masa Orde Baru itu masa klise pemberian penghargaan busana terbaik diacarakan di hotel-hotel atau tempat mewah: mengumumkan Indonesia memiliki adab busana terhormat. Di pelbagai tempat, busana milik jelata tak mendapat cerita dan berita. Begitu.


Bandung Mawardi, kuncen Bilik Literasi Solo

FB: Kabut

73 tampilan

Comments


bottom of page