Beras, "Roman Terjelek"
Bandung Mawardi
PADA masa wabah, pangan terlalu dipikirkan. Pemerintah mustahil membuat janji suci memenuhi kebutuhan pangan bagi ratusan juta orang. Sekian orang mendapat bantuan tapi sebentar. Pada hari-hari pemerintah sudah mumet, orang berpikir bisa membeli atau mengadakan pangan di rumah. Berita-berita bantuan pangan dari pemerintah atau pelbagai institusi sering berupa beras. Pelengkap termesra adalah mi. Pada abad XXI, wabah dan masalah pangan masih melulu beras.
Sejarah krisis mengandung masalah pangan. Kita menilik episode sebelum malapetaka 1965. Paragraf terbaca: “Menurut penjelidikan Lembaga Makanan Rakjat, rata-rata orang Indonesia membutuhkan 1.900 kalori sehari, termasuk kedalamnja 47,15 gram protein. Untuk memenuhi kebutuhan akan kalori ini, dipergunakan bahan-bahan makanan karbohidrat sebanjak 160 kg (dihitung nilai beras) setiap djiwa setahun. Agar perimbangan dalam nilai bahan makanan itu dapat terdjaga, maka dari kebutuhan sebesar 160 kg itu, sehendaknja 100 kg diisi dengan beras dan jang selebihnja, sebanjak 60 kg (djuga dihitung dalam nilai beras) dapat ditjukupi dengan djagung, ketela pohon dan/atau ubi rambat”.
Kekuasaan ingin tegak dengan ketersediaan beras. Jutaan orang ingin dibuat waras dan bergembira bisa makan nasi. Gagal dalam urusan beras berdampak ke revolusi berjalan lambat. Lapar mengganggu revolusi. Soekarno ingin orang-orang bergerak dan membara demi revolusi. Lapar pun harus ditumpas meski susah terjawab. Paragraf tadi dimuat dalam buku berjudul Rentjana 3 Tahun Produksi Beras terbitan Departemen Pertanian, 1960. Tahun-tahun sesudah itu kekuasaan Soekarno rapuh gara-gara gagal dalam pemenuhan pangan atau ketersediaan beras.
Penjelasan dari sarjana asing: “Harga beras yang naik tiga kali lipat selama tahun 1966 dan demonstrasi mahasiswa yang serius pada tahun 1967 yang menyertai inflasi yang terus-menerus yang didorong oleh melangitnya harga beras di Jakarta, telah benar-benar mengingatkan pemerintah bahwa kebijakan beras dan berbagai program harus diberi peran kunci dalam kebijakan pertumbuhan maupun stabilisasi”. Sejarah kekuasaan di Nusantara, sejak ratusan tahun lalu sampai babak 1960-an, tetap saja dipengaruhi beras. Kita memang jarang menempatkan itu sebagai urusan paling besar tapi arah sejarah memang bisa dilihat dari piring kosong atau piring berisi nasi. Beras itu soal dan jawab.
Sejarah kekuasaan di Nusantara, sejak ratusan tahun lalu sampai babak 1960-an, tetap saja dipengaruhi beras. Kita memang jarang menempatkan itu sebagai urusan paling besar tapi arah sejarah memang bisa dilihat dari piring kosong atau piring berisi nasi. Beras itu soal dan jawab.
Sarjana asing itu bernama Leon A Mears. Buku berjudul Era Baru Ekonomi Perberasan Indonesia terbitan Bulog dan UGM Press memberi penjelasan-penjelasan panjang dan jauh mengenai keruwetan produksi dan perniagaan beras di Indonesia. Riset mula-mula untuk masa 1940-an sampai 1950-an. Pemerintah Orde Baru meminta itu dilanjutkan ke babak 1960-an sampai 1980-an. Kebijakan beras Orde Baru menjadi pembeda dengan situasi dan kebijakan Soekarno di masa lalu. Beras ingin membuat rezim Orde Baru tegak dan langgeng. Beras itu keutamaan Orde Baru berakibat ke peminggiran dan peremehan pangan pokok di pelbagai pulau di seantero Indonesia.
Di Jawa Pos, 2 Agustus 2020, kita membaca berita panjang mengejek: “Indonesia itu (bukan cuma) negeri beras”. Pemerintah dituduh gagal dalam penganekaragaman pangan. Pada saat wabah, beras memang diinginkan tersedia dalam jumlah mencukupi sampai pemerintah mengumumkan wabah tamat. Jadwal itu tak pasti. Sekian bulan lalu, kita mengetahui pemerintah serius dalam mengadakan lumbung pangan. Para menteri diwajibkan bekerja keras untuk lumbung pangan. Prabowo Subianto juga mendapat perintah bertema lumbung pangan. Kita mencatat pangan itu beras. Peneliti Indef menjelaskan bahwa diversivikasi pangan patut dipercepat di Indonesia timur. Kerja itu diharapkan ke penjelasan utuh produksi pangan alternatif, tak bergantung beras.
Puluhan tahun lalu, gagasan penganekaragam pangan telah diperdebatkan tapi tak mewujud dalam biografi-politik Soeharto. Sekian artikel di Prisma edisi Mei 1995 mengulas penganekaragaman dan swasembada pangan. Ada ikhtiar tak selalu mengurusi beras. Dawam Rahardjo mengingatkan: “Pentingnya pembangunan sektor pangan tidak lagi menjadi bahan perdebatan sejak Orde Baru. Sebelumnya, Hatta, Kasimo, dan Sjafruddin Prawiranegara harus berteriak lantang untuk meyakinkan para pengambil keputusan bahwa pembangungan sektor pangan itu paling tidak sama pentingnya dengan pembangunan sektori industri.” Orde Baru ingin orang-orang bergelar Ir untuk industrialisasi tapi Soeharto masih bisa pamer kedekatan dengan petani. Ia pun sering tampil di sawah: berfoto bersama padi. Pementasan teater ingin mengesankan Soeharto tetap berpikiran serius kebijakan pangan (beras).
Orde Baru ingin orang-orang bergelar Ir untuk industrialisasi tapi Soeharto masih bisa pamer kedekatan dengan petani. Ia pun sering tampil di sawah: berfoto bersama padi.
Di Jawa Pos, Guru Besar IPB (Dwi Andreas Santosa) tak ingin direpotkan dengan sejarah mbulet. Ia justru mengusulkan: “Jadi, mereka sejak dini mengajarkan pada anak di sekolah untuk mengenal dan membiasakan mengonsumsi makanan pokok variatif”. Ingat, makanan pokok tak selalu beras. Ia melihat Indonesia timur. Di sana, sagu itu terlalu penting tapi rezim Orde Baru mematuhkan orang-orang di sana agar makan nasi. Beras telah berkuasa melalui pelbagai kebijakan, termasuk pendidikan. Usulan mengajarkan beragam makanan pokok di sekolah mungkin berlatar wabah membuat jutaan orang wajib selamat dengan makan. Konsumsi beras tetap roman besar meski ada sikap-sikap bijak lain mumpung wabah memaksa ada perubahan gagasan hidup dan pemahaman pangan.
Beras telah berkuasa melalui pelbagai kebijakan, termasuk pendidikan. Usulan mengajarkan beragam makanan pokok di sekolah mungkin berlatar wabah membuat jutaan orang wajib selamat dengan makan.
Pada 1942, Ibu Sud menggubah lagu berjudul “Menanam Djagoeng”. Jutaan orang kelaparan. Pada masa pendudukan Jepang, beras itu langka. Bumiputra diminta para pemimpin memberikan beras pada Jepang. Lagu itu selalu terdengar sampai sekarang tanpa “cerita” berbau sejarah mengandung pangan (beras). Ibu Sud tak bercerita padi tapi jagung. Kita diingatkan lagi pasang-surut sejarah politik dipengaruhi pangan. Lirik teringat jutaan bocah, dari masa ke masa:
Ajo kawan kita bersama
menanam djagoeng dikeboen kita
Ambil tjangkoelmoe, ambil pangkoermoe…
Dulu, orang-orang mungkin sudah memiliki pengetahuan pangan pokok orang-orang di Indonesia itu beragam, tak cuma beras. Ibu Sud tak sempat menggubah lagu mengenai sagu. Kini, pemerintah sibuk berpikiran beras. Orang-orang menganggap itu “lagu lama”. Kita menanti saja berita-berita dan mendengar ocehan orang-orang di kampung memikirkan duit untuk membeli beras. Mereka bersedih menanggungkan situasi tapi tetap harus makan. Beras menjadi pikiran berat saat duit terus berkurang dan penghasilan tak jelas. Beras justru menjadi “roman terjelek” abad XXI gara-gara wabah dan pemikiran kolot di kalangan pengambil kebijakan bernalar kekuasaan. Begitu.
_____________
Bandung Mawardi,
pemenang 3 Sayembara Kritik Sastra DKJ 2019,
Kuncen Bilik Literasi, Penulis Buku Terbit dan Telat (2020)
FB: Kabut
Comments