Ber(belanja)
Bandung Mawardi
PADA awal 2020, tema pariwisata membesar. Pemerintah dan para pengusaha mulai membuat rencana-rencana untuk capaian target setahun. Mereka ingin ada peningkatan mutu dan pendapatan. Kita membaca berita berjudul “Betah dan Belanja Lebih Banyak” di Kompas, 24 Januari 2020. Program pariwisata diharapkan meningkatkan pendapatan melalui hitungan duit dibelanjakan para turis. Kita mengutip: “Tambahan belanja dan masa tinggal diharapkan bisa dicapai dari wisatawan bisnis yang menghadiri pertemuan, perjalanan insentif, konferensi, dan pameran. Agar memperpanjang masa tinggal, kegiatan bisnis bisa dipadukan dengan wisata. Selanjutnya tentu saja, wisatawan bisnis akan berbelanja pada saat berwisata sehingga dampaknya bisa dirasakan penjual makanan-minuman dan cendera mata di lokasi wisata.”
Kita mencatat penulisan “belanja” dan “berbelanja”. Kita bertemu lagi diksi “belanja” di berita berjudul “Mengerem Belanja” dimuat di Kompas, 28 Januari 2020. Kita mulai berpikiran ada masalah kebahasaan. Belanja atau berbelanja? Berita di koran-koran membuat kita sulit membuat kepastian tentang penulisan secara benar: belanja atau berbelanja. Para wartawan memiliki kaidah-kaidah di penulisan berita mungkin berbeda dengan kaidah berbahasa pembaca.
Belanja atau berbelanja? Berita di koran-koran membuat kita sulit membuat kepastian tentang penulisan secara benar: belanja atau berbelanja.
Kita simak juga berita di Jawa Pos, 4 Februari 2020, berjudul “Uang Belanja Kecil Picu Perceraian”. Kita diajak berpikir lagi tentang “belanja” dalam kasus perceraian, bukan melulu pariwisata. Humas Pengadilan Agama Banyuwangi Wiyanto menjelaskan angka perceraian masih tinggi di Banyuwangi, Jawa Timur. Kita mengutip dari berita: “Persoalan pemenuhan ekonomi menduduki peringkat pertama, yakni sebanyak 2.498 kasus. Dia menjelaskan, pengertian ekonomi dalam kasus tersebut merupakan persoalan uang belanja sehari-hari yang diberikan seorang kepala keluarga kepada istri atau keluarganya.” Kita menduga arti belanja berkaitan dengan rezeki, pendapatan, atau nafkah. Kita tunda dulu untuk membuat pemastian arti.
Kita membaca berita-berita memuat diksi “belanja” dan “berbelanja” di koran-koran tahun kemarin. Di Republika, 12 Desember 2019, kita membuka rubrik “Belanja”, ada tulisan berjudul “Cara Terbaru Berbelanja Hijab.” Belanja dan berbelanja itu sama atau beda? Kita bertambah penasaran. Belanja dan berbelanja juga ada di berita Solopos, 14 Desember 2019. Kutipan dari berita: “Seusai berbelanja di sebuah kios atau los, Yuni selalu diajak foto bersama.” Kalimat lain di berita: “Ia menghabiskan waktu 1,5 jam untuk berbelanja di Pasar Kota Sragen.” Berita itu mengenai Gerakan Belanja ke Pasar. Bupati Sragen Kusdinar Untung Yuni Sukowati mengajak pejabat dan warga membiasakan berbelanja ke pasar tradisional. Bupati memberi contoh dengan membeli bra, celana dalam, mukena, kain kebaya, dan lain-lain.
Kebijakan dinamakan Gerakan Belanja ke Pasar. Wartawan Solopos menulis peristiwa Yuni membeli barang-barang di pasar itu berbelanja, bukan belanja. Kita menduga belanja dan berbelanja memiliki arti berbeda. Kita membaca arti belanja dalam Kamus Saku Bahasa Indonesia (1952) susunan Reksosiswojo, St. Muhammad Sa’id, dan A. Sutan Pamuntjak: “ongkos” dan “barang sesuatu jang dipergunakan untuk membeli apa-apa jang diperlukan”. Dibelanjai berarti “diongkosi”. Dibelanjakan berarti “uang itu telah dipakai untuk membeli barang sesuatu.” Kita tak menemukan “berbelanja”. Kamus memuat pengertian belanja saja. Kita membuka Kamus Umum Bahasa Indonesia (1952) susunan Poerwadarminta. Belanja diartikan “wang jang dipakai (dikeluarkan), ongkos, biaja”. Berbelanja memiliki arti “membeli-beli (dipasar, ditoko, dsb).” Belanja dan berbelanja berbeda arti.
Di Sragen, Jawa Tengah, Gerakan Belanja ke Pasar bisa dianggap salah dalam pilihan kata. Dua kamus lama mengartikan belanja adalah uang atau ongkos. Kebijakan itu belum mendapat ralat dari warga. Kita menduga “belanja” dimengerti pejabat dan warga adalah membeli. Belanja dan berbelanja mengingatkan pusat perbelanjaan. Bangunan-bangunan megah di kota sering disebut pusat perbelanjaan. Orang-orang datang untuk membeli apa saja. Di pusat perbelanjaan, orang-orang kadang mendapat hiburan-hiburan. Lomba-lomba juga sering diselenggarakan di pusat perbelanjaan. Kunjungan ke pusat perbelanjaan tak selalu berarti orang membeli sesuatu atau berbelanja.
Di pusat perbelanjaan, orang-orang kadang mendapat hiburan-hiburan. Lomba-lomba juga sering diselenggarakan di pusat perbelanjaan. Kunjungan ke pusat perbelanjaan tak selalu berarti orang membeli sesuatu atau berbelanja.
Penamaan gedung sebagai pusat perbelanjaan bermasalah dalam bahasa. Kita membuktikan dengan membaca arti perbelanjaan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988): “perihal (uang) belanja”. Pusat perbelanjaan berarti pusat perihal (uang) belanja? Kita menjadi bingung. Kita lanjutkan membaca arti pembelanjaan: “proses, perbuatan, cara membelanjakan, pengeluaran uang.” Semula, kita berpikiran belanja dan berbelanja. Kamus-kamus malah membuat kita bingung untuk menggunakan kata secara tepat. Eko Endarmoko dalam Tesaurus Bahasa Indonesia (2006) mencantumkan keterangan belanja itu nomina dan berbelanja itu verba.
Berbelanja termasuk kata dalam cakapan. Berbelanja diartikan “membeli-beli” atau “menukar”.
Pilihan tepat itu belanja atau berbelanja? Kita membuka majalah Matra edisi Januari 1998. Kita membaca iklan majalah bernama Belanja. Keterangan tentang majalah: “Berisi berbagai informasi penting bagi Anda, melalui lebih dari 40 rubrik pilihan. Bicara tentang belanja kosmetik sampai butik, dari interior sampai otomotif. Dikemas dalam penampilan luks, full colour, serba praktis dan wah.” Iklan majalah tak memuat kata berbelanja. Kita memastikan orang-orang sering memilih kata belanja ketimbang berbelanja. Belanja berarti membeli atau menggunakan uang untuk mendapat apa saja. Pemberian arti itu tak sesuai dengan kamus-kamus.
Penggunaan belanja berlaku lagi dalam acara menggunakan bahasa Inggris: Solo Great Sale. Orang-orang sering menganggap Solo adalah kota bergelimang makna dan pesona Jawa. Anggapan itu bisa salah saat orang-orang datang ke sekian acara di Solo sering berbahasa Inggris. Selama Februari 2020, ada Solo Great Sale. Panitia membuat slogan: “Belanja Senang, Senang Belanja”. Kita menduga pembuatan slogan menggunakan diksi belanja tanpa memerlukan membuka kamus-kamus. Kita berdoa agar acara itu tak memicu angka perceraian di Solo bertambah tinggi. Begitu.
__________
Bandung Mawardi,
pemenang 3 Sayembara Kritik Sastra DKJ 2019,
Kuncen Bilik Literasi, Penulis Buku
Pengisah dan Pengasih (2019)
FB: Kabut
Comments