Awal George Orwell Menentang Kolonialisme
SEBAGAIMANA pembaca sastra pada umumnya, George Orwell menemui saya lewat karya adiluhungnya 1984. Beberapa rekan menyarankan saya membacanya karena konon novel ini begitu mengejutkan, terutama terkait gagasannya seputar dunia yang dikondisikan sedemikian ketat oleh satu tangan kekuasaan. Dan benar, membaca novel itu, bertahun-tahun silam, saya diajak membayangkan betapa mengerikannya obsolutisme kekuasaan yang terepresentasikan dalam simbol teleskrin (semacam kamera seperti CCTV)—sesuatu yang ketika novel itu ditulis belum ada tetapi beberapa dekade setelahnya justru benar-benar terjadi: lihatah, betapa kamera pengintai kini beredar di mana-mana, seolah-olah dunia ini begitu tidak aman.
Agaknya kekuasaan memang jadi tema penting bagi Orwell. Salah satu novelnya Burmese Days yang belum lama ini terbit dalam bahasa Indonesia mengusung tema kekuasaan dalam bentuknya yang lebih spesifik: kolonialisme. Pengalaman selama lima tahun hidup di Burma sebagai polisi Inggris memberinya kesempatan menangkap gambaran nyata perihal cara kerja sistem kolonial yang menindas. Orwell sebagai pelaku langsung praktik kolonialisme tersebut mengalami hari-hari sarat dilema. Ia sendiri menyadari apa yang ia dan negaranya lakukan adalah sebuah kesalahan. Tetapi ia seperti terjepit dalam situasi yang tak bisa ditolak. Negaranya adalah kolonialis, dan ia ikut mencari penghidupan sebagai abdi negara, yang artinya ia mesti tunduk pada titah negara.
Orwell sebagai pelaku langsung praktik kolonialisme tersebut mengalami hari-hari sarat dilema. Ia sendiri menyadari apa yang ia dan negaranya lakukan adalah sebuah kesalahan.
Atas perbuatannya di masa lalu Orwell terus-menerus dihantui kenangan buruk tentang perilakunya yang kasar pada pribumi Burma. Novel ini lalu oleh penerjemahnya bolehlah dipandang sebagai upaya Orwell “membersihkan” dosanya di masa lalu. Karenanya tak terlalu mengherankan jika ia menciptakan sosok Flory, lelaki pedagang kayu berkebangsaan Inggris yang bertaruh nasib di Burma. Tokoh inilah yang lalu menjadi sentral pengisahan novel perdana pengarang bernama asli Eric Blair ini. Dengan Flory sebagai penggerak cerita, Orwell menyulam rajutan konflik berpokok persoalan-persoalan di negara kolonial. Pertama mengenai pemenuhan kebutuhan biologis para tentara dan warga sipil Inggris di tanah jajahan. Status Flory yang bujangan yang tak kunjung beroleh jodoh pada akhirnya menimbulkan masalah. Jumlah perempuan Eropa di Burma memang begitu sedikit. Lelaki mana betah bertahun-tahun hidup sendirian tanpa ada teman tidur. Untung tak bisa ditolak, birahi tak bisa ditunda. Flory pun menyalurkan syahwatnya ke perempuan simpanan yang biasa kita sebut gundik.
Pergundikan adalah masalah mutlak di negara kolonial. Indonesia juga pernah punya sejarah panjang perihal pergundikan. Pengarang menyerapnya menjadi lahan cerita yang tak pernah tandus. Di Indonesia, kisah pergundikan bisa kita tengok di novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer dan Mata Gelap karya Mas Marco Kartodikromo. Pun dengan kisah di Burmese Days ini. Oleh Orwell, pergundikan digambarkan sebegitu dilematis. Lelaki yang ketahuan memelihara gundik biasanya akan merasa sangat malu setengah mati saat rahasianya diketahui sesama publik Eropa. Pun dengan nasib si gundik yang kelak bakal ditolak oleh masyarakat seumpama ia tak bisa menjaga diri dengan baik. Maksud “menjaga diri” di sini ialah menyimpan dan menyisihkan secara tekun uang atau harta yang diberikan oleh si lelaki Eropa. Jika tak, ia akan benar-benar ditolak dari masyarakat karena dianggap telah menggadaikan diri pada penjajah.
Di novel ini situasi sulit semacam itu dideskripsikan betul dengan saksama lewat kisah pribadi Flory bersama gundiknya yang bernama Ma Hla May. Gundik mencari uang, Flory memetik kenikmatan, dan begitulah hubungan transaksional itu berlangsung. Tetapi sekuat apa pun hati perempuan menerima kenikmatan dari seorang lelaki, tanpa adanya sebuah pengakuan lama-lama ia jengah juga. “Yang disukai Ma Hla May adalah kehidupan seorang gundik yang malas-malasan, dan kunjungan ke desanya berpakaian serba mewah, dan bisa sesumbar tentang statusnya sebagai bo-kadaw—istri lelaki kulit putih—sebab dia telah meyakinkan semua orang termasuk dirinya sendiri, bahwa dia benar-benar istri Flory yang sah.” May menuntut diakui sebagai istri meskipun hal itu sangat mustahil. Dan memang kenyataannya Flory tak pernah sudi mengakui. Kalaupun di beberapa kasus ada lelaki Eropa yang berani menikahi perempuan pribumi, persoalan yang akan muncul pada kemudian hari ialah menyangkut status kewarganegaraan dan kemurnian ras anak tersebut, yang kelak akan terus dipertanyakan terutama oleh kalangan orang Eropa. Tak ada gundik yang benar-benar beruntung nasibnya. Kolonialisme memang akan selalu merugikan kaum perempuan.
Tak ada gundik yang benar-benar beruntung nasibnya. Kolonialisme memang akan selalu merugikan kaum perempuan.
Persoalan kedua ialah perihal munculnya kesadaran anti-kolonialisme di tengah kalangan orang-orang Inggris itu sendiri. Jika ada seratus politisi pembual, percayalah, tetap akan muncul seorang politisi ke seratus satu yang memang terjun ke politik demi sebuah perubahan, bukan karena gila hormat, tunjangan, atau status sosial. Hari demi hari menyaksikan praktik kolonialisme yang licik, pelan tapi pasti Flory justru seperi manusia ketiban wahyu. Lama-lama pikirannya terbuka dan ia, meminjam ungkapan Pramoedya, mulai tergugah untuk berani adil sedari dalam pikiran. Kepekaan rasa kemanusiaannya terangsang. Semula, niatnya datang ke Burma memang untuk berdagang. Namun, perlahan niat tulusnya itu tercemari ambisi megalomaniak rakus dari kerajaan Inggris. Ia pun mulai menyatakan ketidaksetujuannya pada negara. “Aku di sini untuk mencari uang, sama seperti orang lain. Yang aku tolak adalah tipu muslihat bangsa kulit putih yang menjijikkan, tapi berkedok tanggung jawab untuk bangsa ini,” ungkap Flory dengan keras (hlm.61).
Sikap Flory ini bukan tanpa alasan. Selain karena sudah merasa hidup begitu dekat dengan masyarakat pribumi, ia juga gemar membuka kesempatan berdialog dengan pribumi. Salah satunya ialah Veraswami, dokter dari India yang bertugas di distrik yang sama dengan tempat Flori tinggal. Di masa lalu, India dan Burma memang sama-sama dijajah Inggris. Pembicaraan dan pertemuan dengan pribumi memberinya satu simpulan besar yang kelak mengubah cara pandangnya terhadap orang-orang Burma.
Sepuluh tahun menghirup udara panas dan turut merasai bau kayu cendana di rambut perempuan Burma telah membuat Flory nyaris “menjadi” pribumi. Ia sudah menancapkan akar-akar terlalu dalam, dan mungkin yang terdalam, ke sebuah negeri yang asing. Tahap inilah yang saya kira menjadi titik awal pamrih Orwell menulis novel ini. Seorang Eropa yang dengan kesadaran sepenuhnya mencoba memahami Burma (tanah jajahan) secara lebih adil dan beradab.
Imbas dari sikap Flory itu ialah ia perlahan merevisi pemahamannya yang ia angkut dari tanah airnya di Inggris. Ia hampir selalu memihak mereka. Dia selalu memuji-muji adat istiadat Burma dan watak orang-orang Burma, bahkan seringkali kebablasan sampai membanding-bandingkan bahwa mereka lebih baik ketimbang bangsa Inggris. Flory, misalnya, dengan tegas menyebut tradisi sebuah suku di Burma yang para perempuannya berleher panjang karena dipasangi gelang sejak mereka kecil dan terus ditambah hingga dewasa adalah bagian dari tradisi yang harus dihormati.
Ia hampir selalu memihak mereka. Dia selalu memuji-muji adat istiadat Burma dan watak orang-orang Burma, bahkan seringkali kebablasan sampai membanding-bandingkan bahwa mereka lebih baik ketimbang bangsa Inggris.
Flory juga sempat mendukung gagasan untuk memasukkan orang pribumi menjadi anggota komunitas Klub Eropa, sebuah perkumpulan elite yang pada mulanya digagas hanya untuk kalangan Eropa. Sikap ini sebenarnya tindak lanjut dari instruksi pemerintah pusat Kerajaan Inggris yang menghendaki ada keterlibatan pribumi dalam perkumpulan Eropa sebagai bentuk “tanggung jawab” terhadap negeri koloni. Di era Hindia Belanda, kebijakan semacam ini kita kenal sebagai Politik Etis, sebuah politik balas budi dari pemerintahan Belanda kepada rakyat pribumi di tanah jajahan.
Sikap semacam itulah yang di kemudian hari memantik perdebatan hebat antara Flory dengan Elizabeth, perempuan Inggris pendatang yang ia taksir. Pada bab ini, Orwell sepenuhnya menyajikan perbincangan layaknya penjabaran sebuah mata kuliah 20 sks tentang kolonialisme. Dijelaskannya mengenai cara pandang Eropa yang keliru dalam melihat negara di belahan Bumi Timur. Ada superioritas Eropa yang diselingi kesombongan genetis dan kultural, seperti menganggap orang Burma jelek karena hitam, pemalas, berwatak jahat, bodoh, serta dianggap tak beradab hanya karena menampilkan tarian yang menurut pandangan orang Eropa aneh. Flory membantah nyaris semua tuduhan Elizabeth tersebut, yang dianggapnya tidak melihat peradaban Timur menggunakan kacamata yang memosisikan kesetaraan sesama manusia sebagai landasan berpikir. Di Indonesia kita, bisa melihat ada sosok semacam Eduard Douwes Deker dan Ernest Douwes Dekker. Keduanya warga berkebangsaan Belanda tetapi memilih berdiri sebagai aktivis penentang kolonialisme Belanda, negaranya sendiri.
Di Indonesia kita, bisa melihat ada sosok semacam Eduard Douwes Deker dan Ernest Douwes Dekker. Keduanya warga berkebangsaan Belanda tetapi memilih berdiri sebagai aktivis penentang kolonialisme Belanda, negaranya sendiri.
Upaya pedekate Flory terhadap Elizabeth akhirnya jarang terisi perbincangan bertema “hati ke hati” atau rayuan gombal. Lelaki itu terlalu serius. Adegan percakapan antara lelaki dan perempuan muda itu memang menjadi terkesan intelek namun terasa kurang wajar. Sepantasnya lelaki yang sepuluh tahun tak berkesempatan menaruh hati pada perempuan Eropa, seharusnya pada bab ini Orwell bisa membabar perbincangan personal seputar perasaan Flory selama ini secara lebih intim. Barangkali karena Flory adalah seorang pembaca yang tekun—ucapannya sering diselipi alusi atas teks sastra yang ia baca dan beruntunglah penerjemah berbaik hati memberi catatan kaki. (Terpujilah Mbak Endah)—sehingga wajar jika yang ia bicarakan selalu tentang persoalan-persoalan besar, seperti peradaban, kebudayaan, kemanusiaan, dsb. Dan inilah rupanya awal mula Elizabeth justru menaruh “benci” pada Flory.
Mayoritas perempuan rupanya tak terlalu demen sama lelaki yang omongannya terlalu serius dan berat-berat. Eropa telah menyatu dalam tubuhnya hingga ke tulang, dan Elisabeth tak ingin menanggalkan keyakinan itu hanya gara-gara menuruti kemauan lelaki yang tengah jatuh cinta padanya. Cinta tak berbalas akibat gesekan ideologi membikin Flory lagi-lagi sendiri. Ia mungkin marah kenapa tak sanggup membuat Elizabeth mengikuti jalan pikirannya. Tetapi cara pandang kolonial yang menindas benar-benar tak mungkin lagi ia sepakati. Lampus, mampus, kisah cinta Flory mendadak lenyap seperti atraksi sulap.
Kolonialisme Inggris di Burma tak hanya menyengsarakan Flory, ia juga menebar benih watak culas birokrasi yang penuh intrik dan praktik politik licik. Tak semua orang di Burma menentang kolonialisme, dan satu di antaranya ialah U Po Kyin. Pria pribumi yang merintis karir sebagai pejabat daerah ini memanfaatkan betul posisinya di pemerintahan guna menumpuk kekayaan dan melenggangkan jalan kekuasaannya sendiri. Ia seperti raja kecil yang berkuasa di daerahnya. Praktik korupsi dan kongkalikong pengebirian aturan hukum bikin pria doyan makan dan berbadan tambun ini tampil sebagai pribumi yang sangat dipercaya pemerintah kolonial. Munculnya pribumi macam U Po Kyin di lingkaran elite kolonial menjadikan hal tersebut sebagai preseden buruk bagi masyarakat. Praktik curang di kalangan birokrat lalu menularkan mentalitas penjilat, budak, dan korup. Dengan novel ini Orwell hendak menelanjangi kelakuan kolonialisme Inggris di Burma pada masa lalu. Apalagi dengan sikap dan keyakinan tokoh Flory yang dengan kukuhnya menampar seluruh pandangan kolonial.
Pria pribumi yang merintis karir sebagai pejabat daerah ini memanfaatkan betul posisinya di pemerintahan guna menumpuk kekayaan dan melenggangkan jalan kekuasaannya sendiri. Ia seperti raja kecil yang berkuasa di daerahnya.
Namun, di sisi lain, Orwell juga tak mau memandang persoalan kolonialisme secara hitam putih belaka. Ia juga mengkritik watak pribumi yang belum siap menghadapi pembangunan infrastruktur yang terjadi berbarengan invasi kolonialisme. “Temanku, temanku, kamu lupa sifat orang Timur. Bagaimana mungkin kami bisa berkembang, melalui keapatisan dan takhayul?” ungkap Orwell lewat Veraswami. Pernyataan ini tentu masih bisa terbantahkan meski tak mutlak. Adanya pernyataan seperti itu tentu sebagai akibat dari keminderan seorang pribumi karena terlalu lama dibikin tak berani bersuara. Kolonialisme memang telah menyumbang pembangunan infrastruktur yang cukup besar. Tetapi persoalannya ialah, sistem kolonialisme justru telah menumbuhkan mentalitas manusia lemah tersebab perlakuan Inggris yang kerap memandang pribumi sebagai manusia kelas tiga yang pantas dianiaya dan dimanfaatkan sepuas-puasnya. Tak ada jati diri bagi manusia yang terus-terusan terjajah. Pilihan Orwell mengusung tema kolonialisme di novel perdana ini seolah menjadi titik pijak bagi karya-karyanya yang selanjutnya. Novel ini pada akhirnya akan terus beroleh pembaca di seluruh dunia, terutama di negara pasca-kolonial.
Yang juga harus saya katakan setelah membaca novel ini ialah: Orwell kurang memberi perhatian pada tokoh-tokoh perempuan. Nyaris semua tokoh perempuan di sini dihadirkan dalam posisi yang kalah dan teraniaya. Bahkan untuk kasus Ma Hla May, sosoknya benar-benar terkisahkan menderita dan buruk secara sempurna: mata duitan, cerewet, omongannya tak bermutu, serta pada akhirnya bernasib sial dengan menjadi pelacur murahan. Untuk sosok Elizabeth pun, meski ia berasal dari Eropa, sikap politiknya yang sangat anti kulit berwarna dan rasis bikin pembaca seperti saya jadi jengah. Orwell tentu bisa berdalih bahwa inilah gambaran perempuan pribumi dan Eropa yang ada di Burma kala itu. Untuk ini saya sepakat dengan penerjemah Endah Rahardjo: betapa dongkolnya membaca cerita dengan kehadiran sekelompok tokoh perempuan yang semuanya bersifat menjengkelkan dan terkalahkan oleh masyarakat yang sangat lelaki.
Selebihnya, ada beberapa bagian novel yang saya kira sangat boros, terutama di bagian adegan berburu harimau. Meski adegan ini kemudian menjelaskan alasan pertengkaran antara keduanya, hasrat untuk mengeksplorasi deskripsi geografis terkesan sangat bertele-tele. Banyak dialog dan narasi tak penting di bagian ini yang sebenarnya bisa disingkirkan. Orwell agaknya juga kurang memberi perhatian untuk tak menyebut tak detail dalam mengisahkan hubungan antara Flory dan Ma Hla May. Adegan mereka bersebadan di ranjang sungguh-sungguh kering dan kaku. Mengisahkan adegan persetubuhan tapi tak sanggup membikin pembaca ikut terangsang adalah pertanda bahwa narasi dan pendeskripsian yang dilakukan oleh pengarang gagal.
Mengisahkan adegan persetubuhan tapi tak sanggup membikin pembaca ikut terangsang adalah pertanda bahwa narasi dan pendeskripsian yang dilakukan oleh pengarang gagal.
Pamungkas, aneh rasanya jika saya tak berkomentar perihal kegemaran Orwell melancarkan perumpamaan dan metafor berunsur binatang untuk menjelaskan sesuatu. Sejak halaman awal, tebaran perumpamaan binatang hadir bergiliran dan bermisi memperkuat gambaran visual pada imajinasi pembaca. Di novel ini Orwell memang punya kebiasaan menjelaskan sosok tubuh seseorang dengan sedetail mungkin, baik melalui pendeskripsian ukuran tubuh, warna kulit, bentuk dada, lebar pipi, ukuran mata, hingga bentuk kaki. Untuk menggambarkan seorang lelaki tua yang miskin dan kesakitan Orwell memilih ungkapan: Makhluk tua itu terlihat kesakitan, lebih menyerupai belalang daripada manusia; untuk menyebut sosok U Po Kyin ia menyebutnya buaya berwujud manusia; untuk menyebut perempuan pemarah ia enteng saja berucap perempuan berwajah mirip kuda. Begitu berlimpah perumpamaan semacam itu bertebaran di sepanjang halaman novel. Sesekali pembaca akan dibuat geli menyimak ungkapan tersebut.
Cara ini, sebenarnya, bisa kita maknai sebagai siasat Orwell untuk menunjukkan penderitaan dan rusaknya sebuah bangsa yang terjajah. Tak ada perumpamaan yang indah bagi sebuah bangsa yang tangan dan kakinya dikekang. Dengan cara menyamakan manusia dengan binatang itulah Orwell ingin berbicara: hei kalian para penjajah, kehadiran kalian sungguh benar-benar membuat manusia-manusia ini bernasib seperti binatang. Sebuah ekspresi kemarahan yang telak, saya kira. Namun, kemunculannya yang terulang dan terulang terus tak bisa disangkal bikin saya jemu. Perumpamaan itu menjadi tertebak. Makanan yang lezat sekalipun jika dihidangkan tiap hari, orang pasti akan bosan. Ini jadi catatan kecil bagi Orwell dan pengarang siapa pun, meski novel ini bukan karya terbaiknya—konon, Terbenam dan Tersingkir di Paris dan London adalah novel terbaik Orwell—persoalan kolonialisme yang diangkat dengan sebegitu kompleks dalam novel ini akan selalu menjadi bacaan penting sepanjang zaman.***
Comments