Antara Tradisi dan Pendemi
WAYANG, dalam berbagai variannya (wayang kulit, golek, klithik hingga wayang orang) adalah representasi nilai etis-estetis dalam dramaturgi berunsur ‘"otal theatre’"dalam penyajiannya. Bandung Mawardi (2009) menyebut wayang, dengan simbolisme yang dibawanya, mampu membuat pelbagai perkara bisa diartikulasikan dengan multiperspektif dan multitafsir. Simbolisme itulah yang menjadi kunci eksistensi dan esensi wayang. Bisa dikatakan, dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat juga seringkali secara implisit mengidentifikasi dirinya dengan tokoh wayang. Pertunjukan wayang dengan kebijaksanaan ini menjadi semacam “mekanisme referensial” proses belajar dan introspeksi.
Meski eksis di masyarakat, tapi sebagian orang berpersepsi bahwa wayang itu kuno dan ketinggalan zaman, baik dari segi filosofi ataupun pertunjukannya. Pada saat yang sama, “bahasa wayang” telah terdegradasi kualitasnya akibat campur tangan politik agama, ekonomi, hingga politik kebudayaan. Wayang juga harus bergelut menyelesaikan permasalahan dalam dirinya, mulai dari kreativitas garap dan tafsir, kualitas teknis sajian, hingga sistem edukasi dan pewarisan seni. Apakah wayang dengan nilai-nilainya masih relevan dan kontekstual dengan kekinian? Jika ya, bagaimana transformasinya, lalu apa yang akan dilakukan dengannya?
Sementara kini dunia seni pertunjukan kita terdampak pandemi. Berbagai acara seni berupa pentas, pameran, festival dan lainnya, harus dibatalkan karena covid-19. Namun, kebijakan work from home, social distancing, dan pembatasan sosial berskala besar (PSBB), memengaruhi pola komunikasi seni pertunjukan. Seniman pertunjukan harus berkompromi untuk dapat pentas menghadirkan seni pertunjukan kepada khalayak, dari hadir di ruang pertunjukan yang berkarakter fisik menjadi daring (online).
Tradisi
Menarik melihat yang dilakukan oleh Wayang Orang Bharata bersama National Geographic Indonesia dan Pertamina, melakukan pentas di masa pandemi ini. Kompas (5/7/2020) menulis pementasan dilakukan secara virtual di jaringan internet dengan aplikasi Zoom, Sabtu (27/6/2020), dengan durasi padat sekitar 20 menit. Pentas menyuguhkan lakon berjudul ”Sirnaning Pageblug” atau Sirnanya Pandemi. Dramaturgi ini serupa dengan harapan publik kini, yakni keinginan terbebas dari pandemi Covid-19 yang tak kunjung reda. Tokohnya bernama Prabu Korona Bhirawa sebagai raksasa pengganggu ketenteraman manusia, layaknya virus korona atau Covid-19 sekarang. Uniknya, karena menuruti protokol kesehatan, para pemain tidak berada di satu lokasi yang sama, tapi pentas berupa siaran gabungan dari adegan pemain di rumah masing-masing. Memanfaatkan teknologi, penyiaran pementasan diramu untuk disajikan dengan tidak jauh berbeda ketika pentas bersama di panggung.
Melalui pentas ini, seni tradisi wayang, membuktikan keliatannya dalam meniti zaman pagebluk. Memahami wayang, seturut Afrizal Malna (2010), memang tidak seperti membaca sejarah Barat. Wayang membawa kita pada sebuah cara berpikir yang membawa pada ruangan tertentu di mana pandangan hidup dipraktikkan dalam seni pertunjukan. Ketika menonton wayang kita bagai masuk dalam perpustakaan Plato, tentang idealisme dan ide-ide (meski kita tidak pernah sampai pada ide-ide itu sendiri). Kadang seperti ada di perpustakaan Heidegger: kita membaca tidak dengan cara melihat, tidak dengan kesadaran, karena kesadaran itu cenderung melupakan. Karena kesadaran itu dirutinkan, dilembagakan dalam hidup sehari-hari, yang membuat kita lupa. Kadang bagai masuk ke perpustakaan Hegel tidak ada penanda sehingga kita selalu bergerak diantara yang substansi dan artifisial. Penanda yang bergerak untuk mencapai (bukan untuk memenuhi) kerinduan itu. Hal ini yang membuat kita menyadari bahwa sejarah justru ada dalam diri kita, dan terletak pada cara kita membacanya. Tradisi, oleh karenanya adalah kita, bagian dari diri kita.
Dengannya kita bisa memahami bahwa tradisi pada dasarnya adalah sebuah mental facts yang terwujud melalui aktivitas sistemik dalam bentuk transfer knowledge maupun transfer values. Seperti pada perkembangannya, terlebih dengan pandemi, terjadi pencangkokan baru antara wayang dengan media digital, seperti yang dilakukan wayang orang Bharata melalui zoom. Wayang mengalami pergeseran dari bahasa simbolik menjadi hampir sepenuhnya bahasa digital sebagai bentuk adopsi teknologi baru.
Digital
Pentas ini membuktikan bahwa manusia dan kebudayaan akan terus termediasi melalui digitalisasi dan media baru yang membantu mengintensifkan karakter kebudayaan sebagai suatu hal yang terus mengalami dialektika. Digitalisasi adalah perbanyakan dan pelebaran ruang-ruang kebudayaan, sesuatu yang alami, yang melekat dan menjadi bagian dari kehidupan manusia. Pandangan negatif terhadap era digital yang mereduksi kehidupan sebenarnya timbul karena belum munculnya imajinasi manusia untuk mengembangkan budaya dalam platform digital. Oleh karenanya, pandangan relativitas kebudayaan menjadi penting agar digitalisasi tidak dinilai sebagai proses homogenisasi kebudayaan, bahwa yang digital tidak berbeda dari kebudayan material pada umumnya, sebelum “yang digital” lahir. Yang harus dipahami, hal virtual (seperti media sosial, permainan simulasi daring, atau TV) dan yang riil (kehidupan sehari-hari) memang berjarak, tapi keduanya terus berinteraksi. Manusia membenturkan nilai yang didapat ketika keluar dari ruang virtual dan masuk ke ruang riil, juga sebaliknya (Perdana Putri, 2015).
Oleh karenanya, pandangan relativitas kebudayaan menjadi penting agar digitalisasi tidak dinilai sebagai proses homogenisasi kebudayaan, bahwa yang digital tidak berbeda dari kebudayan material pada umumnya, sebelum “yang digital” lahir.
Pentas ini menjadi bukti daya adaptasi dan kreasi ekspresi dan moda yang dibutuhkan dalam berekspresi. Selama ini kita menganggap budaya terkait dengan masa lalu, dalam bentuk konservasi, transmisi, dan pewarisan tradisi masyarakat tertentu. Tetapi budaya sebenarnya juga memiliki wajah visioner yang mengarah ke masa depan. Sisi budaya ini mesti dikembangkan melalui eksplorasi imajinasi untuk mewujudkan penemuan yang kreatif, prospektif dan kontekstual.
Terlebih dalam tantangan era baru ini, pengembangan imajinasi sebagai sumber daya budaya menjadi energi pemberi ide-ide visioner bagi pemajuan kebudayaan. Muaranya menemukan metode, logika dan bentuk penyikapan baru bagi dunia makna dan praktik untuk melahirkan artefak-artefak budaya baru yang dibutuhkan, termasuk dalam seni pertunjukan (wayang). Sehingga wayang tetap bisa menjadi jagat kreatif yang memiliki basis sosial (penonton), basis ekonomi (pasar) dan basis budaya (orientasi nilai) yang kontekstual.
_______________
Purnawan Andra,
peminat kajian sosial budaya masyarakat,
bekerja pada Direktorat Pengembangan &
Pemanfaatan Ditjen Kebudayaan Kemendikbud.
FB Purnawan Andra
IG @purnawanandra
Twitter @purnawan_andra
Comments