Ajip Rosidi: Prihatin Itu Perlu
PENGHARGAAN dinamakan Rancage mulai diberikan sejak 1989. Semula, penghargaan untuk buku sastra berbahasa Sunda dan orang tekun dalam mendakwahkan sastra. Buku terbaik mendapat penghargaan 1 juta rupiah. Dulu, angka itu termasuk besar. Di balik penghargaan itu ada Ajip Rosidi: pengarang, penerbit, penerjemah, editor, kritikus sastra, dan pengajar. Ia sudah pamitan dari dunia tapi warisan berupa buku-buku masih terbaca. Warisan pemberian penghargaan untuk buku dan sosok dalam melanggengkan sastra berbahasa daerah masih berlanjut. Pada 31 Januari 2021, 33 tahun penghargaan Rancage. Penghargaan tanpa kehadiran sosok Ajip Rosidi (31 Januari 1938-29 Juli 2020) tapi orang-orang bakal terus mengenang prihatin dan ketulusan menghidupi sastra.
Penghargaan berlatar wabah belum punah. Dulu, Ajip Rosidi mungkin mengangankan terjadi “wabah” sastra berbahasa daerah di seantero Indonesia, tak melulu sastra berbahasa Indonesia. Ajip Rosidi mengaku bangga bisa rutin setiap tahun mengadakan penghargaan Rancage. Pada masa 1950-an, ia pernah menerima penghargaan dari BMKN (Badan Musjawarat Kebudajaan Nasional) tapi lembaga itu tak berusia panjang atau sanggup memberi penghargaan sastra setiap tahun. Pada masa berbeda saat ia tenar dan memiliki tanggung jawab kesusastraan, Rancage diberikan mengandung janji bisa rutin dan menghidupi. Rancage sanggup bertahan dengan pertimbangan-pertimbangan dana dan dampak-dampak bagi perkembangan sastra dengan beragam bahasa daerah.
Ajip Rosidi bercerita sejarah pemberian Rancage: “Idenya muncul 1988. Beberapa kawan di Bandung, antara lain KH Endang Saefudin Ashari, Prof Dr H Edi Suhardi Ekadjati, dan Abdullah Mustafa, ingin mengadakan syukuran usia saya yang genap 50 tahun. Saya menolak”. Penolakan justru dijawab oleh teman-teman melalui penerbitan buku berjudul Ajip Rosidi: Setengah Abad. Acara ulang tahun dan peluncuran buku diadakan di Gedung Merdeka, Bandung, 31 Januari 1988. Peristiwa itu beralih makna dengan memberikan penghargaan Rancage. Pilihan waktu pemberian Rancage disesuaikan tanggal kelahiran Ajip Rosidi (Kompas, 6 September 1998). Pada 2021, penghargaan itu diberikan lagi dengan menghadirkan pesan-pesan bijak dari dua tokoh penting: Nadiem Makarim dan Hilmar Farid. Tempo edisi 15 Februari 2021, memerlukan membuat liputan panjang. Bentuk penghormatan atas kerja panjang dan selalu mengajukan optimisme. Penghargaan Rancage mengajak publik mengingat bahwa Ajip Rosidi ingin menggairahkan para penulis sastra berbahasa daerah selalu teranggap pudar, dari masa ke masa.
Acara ulang tahun dan peluncuran buku diadakan di Gedung Merdeka, Bandung, 31 Januari 1988. Peristiwa itu beralih makna dengan memberikan penghargaan Rancage. Pilihan waktu pemberian Rancage disesuaikan tanggal kelahiran Ajip Rosidi
Ajip Rosidi seperti membuat “sumpah” bahwa penghormatan wajib diberikan untuk semua sastra berbahasa daerah di Indonesia. Rancage pun perlahan bertambah daftar: sastra (berbahasa) Jawa, Bali, Lampung, dan Madura. Kita boleh geleng-geleng kepala mengetahui kerja Ajip Rosidi dan teman-teman itu “melampaui” kesanggupan institusi-institusi di naungan pemerintah dan universitas-universitas besar di Indonesia. Kita kagum tapi merasa “dipermalukan” tak memiliki kemauan besar membaca atau memberi penghormatan pantas untuk persembahan buku-buku sastra dengan beragam bahasa daerah. Kita melulu mengaku umat sastra tapi cuma membaca buku-buku sastra berbahasa Indonesia.
Rancage sejak mula adalah buku, bukan tulisan-tulisan dimuat di majalah atau koran. Penilaian berupa buku dianggap membuktikan kerja keras dan “keras kepala” pelbagai pihak dalam menghidupi sastra berbahasa daerah. Sejak bocah, Ajip Rosidi pun manusia-buku, lumrah menginginkan pemberian penghargaan dengan patokan penilaian adalah buku-buku berhasil terbit dan beredar ke publik.
Sejak usia 14 tahun, puisi, cerpen, dan esai dimuat di pelbagai majalah terbitan Bandung, Jakarta, dan Jogjakarta. Tahun-tahun bergairah menulis membuktikan sajian ratusan tulisan di lembaran-lembaran majalah. Buku demi buku mulai terbit, menambahi kehormatan sebagai penulis. Pada 1956, terbit buku puisi berjudul Pesta. Buku mendapat penghargaan BMKN (1956-1957). Buku tipis, bersejarah dalam biografi dan capaian estetika Ajip Rosidi. Puluhan tahun, buku itu susah dicari di pasar buku atau perpustakaan. Pada 2008, Pesta diterbitkan lagi oleh Kiblat.
Kita mengenang Ajip Rosidi dengan puisi-puisi digubah saat masih muda. Kita memilih puisi berjudul “Surat Buat Jassin”. Pada masa 1950-an, Jassin adalah kritikus sastra terpandang dan ternama. Ia pun dokumentator sastra. Ajip Rosidi terhubung dengan Jassin dan memerlukan pembenaran menempuhi jalan sastra. Kita membaca:
sungguh hidupku didunia empat dinding/
diluarnja djalan-djalan begitu lengang/
didalamnja kepahitan mendepai sepi/
didalamnja terkubur aku sendiri//
ingin merapatkan diri pada kesedjukan sendja/
ingin menulis dan hidup kedamaian kerja/
menekankan dada pada degup kehidupan tukang betjak/
meleburkan diri pada mereka dalam sadjak.
Ia keranjingan menggubah sastra, sadar ada kebutuhan-kebutuhan hidup harus dipenuhi. Pergulatan bersastra terbandingkan kerja dan keberanian melakoni hidup seperti orang-orang tangguh di jalan dan jelata. Babak kemiskinan pernah dialami tapi Ajip Rosidi terus menulis, berkiprah di perbukuan, dan menuanikan kerja-kerja sebagai redaktur dan penerbit. Ia tak terkutuk dalam sastra berakibat gagal dalam pemenuhan hidup bersama keluarga secara wajar.
Babak kemiskinan pernah dialami tapi Ajip Rosidi terus menulis, berkiprah di perbukuan, dan menuanikan kerja-kerja sebagai redaktur dan penerbit. Ia tak terkutuk dalam sastra berakibat gagal dalam pemenuhan hidup bersama keluarga secara wajar.
Ajip Rosidi (1981) mengenang masa prihatin: “Tapi keinginan untuk hidup hanya dari mengarang, saya coba pertahankan sedapat-dapatnya. Keinginan untuk mempertahankan hidup yang sudah dimulai itu, menyebabkan saya harus menulis sebanyak-banyaknya. Honorarium yang saya peroleh dari sajak-sajak dan cerpen-cerpen saya, tidaklah mencukupi kebutuhan sehari-hari. Maka saya pun mulai menulis bentuk-bentuk karangan lain yang dapat dimuatkan dalam majalah, seperti kritik dan kemudian esai.” Tahun-tahun berlalu, ia tetap hidup. Ajip Rosidi malah tenar. Hidup mulai mapan. Kepergian ke Jepang untuk mengajar mengesahkan ikhtiar dan capaian hidup bermula dari karangan-karangan. Ia mulai berpikiran menjadi dokumentator buku, memajukan penerbitan, kolektor lukisan, dan lain-lain. Rancage menjadi bukti penting dari laku prihatin sampai menjalani hidup lama di Jepang.
Kepergian ke Jepang untuk mengajar mengesahkan ikhtiar dan capaian hidup bermula dari karangan-karangan. Ia mulai berpikiran menjadi dokumentator buku, memajukan penerbitan, kolektor lukisan, dan lain-lain. Rancage menjadi bukti penting dari laku prihatin sampai menjalani hidup lama di Jepang.
Kini, orang-orang mengingat Ajip Rosidi dengan Pustaka Jaya, IKAPI, Girimukti Pasaka, Rancage, dan lain-lain. Hidup telah berwarna. Pada saat pamitan, ia mewariskan beragam hal meski kita tak mudah mengartikan dan melanggengkan. Rancange itu masih ada! Pada hari-hari terakhir, Ajip Rosidi masih melulu memikirkan buku. Ia belum merampungkan novel dan buku direncanakan bakal terbit. Sejak mula sampai akhir, Ajip Rosidi itu memang manusia-buku. “Karena sejak muda saya memutuskan untuk hidup sebagai pengarang, maka buku merupakan keperluan yang harus selalu ada di samping saya,” pengakuan Ajip Rosidi termuat dalam Bukuku Kakiku (2004). Keberanian milik Ajip Rosidi. Keberuntungan pun selalu saja mengalir, dari masa ke masa. Ia mengingat: “Ketika membangun rumah di Jatiwangi yang semata-mata biayanya dari honorarium karangan dan buku-buku saya, koleksi buku saya sudah ada beberapa ribu judul.” Ia “keterlaluan” buku. Ia menobatkan diri sebagai pengarang tanpa takut dan putus asa.
Pada masa wabah, para pengarang mengaku hidup dalam kesulitan. Nafkah diperoleh dari tulisan-tulisan semakin tipis. Sekian koran dan majalah malah tutup. Sekian koran tak mampu lagi memberikan honorarium. Penerbitan buku-buku sedang lesu. Ingatan atas biografi Ajip Rosidi dan Rancage anggaplah memberi ketenangan bagi para pengarang tetap saja menulis dan menerbitkan buku-buku. Konon, prihatin itu perlu. Begitu.
Bandung Mawardi
pemenang 3 Sayembara Kritik Sastra DKJ 2019,
Kuncen Bilik Literasi, Penulis Buku Terbit dan Telat (2020),
Silih Berganti. Esai-esai Tenger (2020)
FB: Kabut
Comentarios